Bepeka. Rekomendasinya sangat dipatuhi. Mungkin tidak ada pejabat birokrasi yang berani mempertanyakannya. “Titah” itu akan dijadikan pedoman dalam mereka menjalankan tugas.
Pekan lalu, sebuah media memberitakan tentang temuan belanja publikasi di Sekretariat DPRK Banda Aceh. Kata berita, BPK merekomendasikan agar Pemko tidak membayar biaya publikasi terhadap sejumlah media yang tidak memenuhi syarat.
Ada kerancuan di sana. Rekomendasi BPK telah mencampuradukkan antara produk jurnalistik dengan advertorial. Dua hal yang sama sekali berbeda.
Produk jurnalistik tentu saja harus tunduk dan patuh pada sejumlah aturan, seperti kode etik dan Undang-undang Pers.
Dan, untuk produk jurnalistik tidak boleh dikenakan bayaran. Jika juga dilakukan, ini melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 6 yang menyebut “wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”.
Makanya, harus dibedakan. Mana produk pers dan mana iklan atau advertorial.
Dalam peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber sudah dijelaskan tata cara penayangan iklan.
Begini bunyinya:
a. Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan.
b. Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan dan atau isi berbayar wajib mencantumkan keterangan ”advertorial”, ”iklan”, ”ads”, ”sponsored”, atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut adalah iklan.
Nah, yang dijadikan bahan audit di Sekretariat DPRK Banda Aceh bisa dipastikan bahwa itu adalah biaya publikasi/iklan/advertorial/pariwara atau tulisan berbayar. Jadi, semestinya, tidak ada alasan tidak boleh membayar.
Kalau BPK hendak mempersoalkan media-media tersebut belum terverifikasi di Dewan Pers, itu lain lagi ranah perdebatannya. Jangan dicampur aduk.
Intinya, tidak ada pihak mana pun yang ingin melanggar aturan. Ketidaksengajaan atau keterbatasan, barangkali, iya.
Media-media kecil, yang menurut BPK, itu tidak memenuhi syarat, juga tidak bermaksud untuk tidak patuh. Hanya saja mereka butuh waktu untuk melewati sebuah proses. Proses yang tidak mudah, karena membutuhkan sumber daya, tenaga, dan juga dana.
Sebagai “negara”, BPK semestinya punya sedikit empaty kepada anggota masyarakat yang sudah punya inisiatif untuk berusaha, membuka lapangan kerja. Berikanlah sedikit ruang kepada mereka, ruang keleluasaan agar mereka bisa mencapai sebuah tahap yang tadi disebut “memenuhi syarat”.
Tentu saja tidak bermaksud untuk tidak patuh. Media-media kecil itu sedang berjuang. Mengumpulkan langkah setapak demi setapak.
Janganlah langkah mereka dihentikan. Karena itu, harus ada solusi yang bijak, yang adil, dan proporsional.
Ibarat membagi kue atau makanan. Karena mereka masih anak kecil, ya … mungkin cukup dua atau tiga potong. Abang-abangnya yang sudah besar mendapat jatah dalam porsi berbeda.
Jangan dimatikan mereka. Karena, perusahaan-perusahaan kecil itu, selain membayar pajak, juga menampung sejumlah tenaga kerja. Mereka ikut berperan mengurangi angka kemiskinan.[]