Badut (Ditangkap) Dilawan?!

Operasi penangkapan badut (foto: Satpol PP Aceh)

ADA peristiwa yang cukup menggelitik. Terasa mengada-ada, seperti kurang kerjaan. “Satpol PP menangkap badut”. Begitu lebih-kurang berita yang dirilis sebuah situs online.

Banda Aceh, belakangan, memang mulai ramai ditingkahi pemandangan yang rada aneh-aneh. Ada komunitas punk di lampu merah, pengamen, dan badut-badut. Mungkin juga ada “badut-badut” lainnya. Sebuah fenomena baru — jika tidak sepakat menyebutnya sebuah keanehan — yang asing bagi warga Banda Aceh hingga era 90-an.

Hanya di sini yang terasa baru. Sementara di belahan lain bumi yang sama, tingkah polah segelintir masyarakat urban ini, sebenarnya, mudah ditemui di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Entahlah. Apakah itu simbol kemajuan atau bentuk lain dari sebuah fenomena sosial? Karena itu, juga sulit untuk menyimpulkan jika kehadiran badut, pengamen, dan komunitas punk sebagai indikator kemajuan bagi Banda Aceh?

Premis itu pasti akan banyak menghadapi perdebatan. Akan banyak yang menggugat. Bisa macam-macam alasannya. Seperti, Aceh merupakan daerah yang menegakkan syariat Islam. Karena itu, tidak pantas jika ada budaya-budaya yang tidak selaras dengan norma-norma agama(?).

Jika itu argumentasinya, maka langkah Satpol PP menangkap badut sudah tepat. Karena institusi ini memang diberi tugas mengawal penegakan syariat Islam di bumi Aceh. Dalam konteks ini, masyarakat harus memberi dukungan. Karena, mungkin, keberadaan badut sangat berbahaya. Siapa tahu, bisa mengancam pendangkalan aqidah (?)

Tapi, tunggu dulu. Narasi di atas tentu saja baru sebatas asumsi yang masih boleh diperdebatkan. Apa lagi jika badut hanya dipandang sebatas hiburan, seperti boneka yang lucu. Kalau hanya sebatas “ornamen” maka operasi menangkap badut menjadi sebuah peristiwa menggelikan. Seperti kurang kerjaan.

Kita pantas mengajukan pertanyaan pula. Apakah badut sangat berbahaya, lebih merusak dibanding pelaku pelanggaran syariat Islam yang ditangkap di hotel? Bagaimana kelanjutan penegakan hukumnya? Atau, jangan-jangan penangkapan badut hanya sekedar pengalihan isu? Badut koq dilawan?

Publik mencatat dengan rapi. Bahwa, sejumlah kasus dugaan pelanggaran hukum syariat Islam di Aceh tidak jelas penyelesaiannya. Belum ada akuntabilitasnya. Apakah dokumennya sudah lengkap (P21) dan berlanjut ke pengadilan, atau perkaranya dihentikan (SP3) di tengah jalan?

Kinerja sebuah lembaga yang akuntabel tentu harus terukur. Harus ada pertanggungjawaban, kepada publik dan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena, ini menyangkut rasa keadilan.

Bersalah-tidaknya seorang tersangka, biar pengadilan yang memutuskan. Kalau tidak, kesannya seperti main-main. Lalu, bagaimana nasib mereka yang pernah dihukum cambuk karena dinyatakan bersalah melanggar hukum syariat Islam?

Akhirnya, publik bisa mengajukan tanya: siapa sesungguhnya yang jadi badut?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *