BAGAIKAN air bah, desakan mutasi pejabat di lingkup Pemerintah Aceh “bergemuruh” dengan kencang. Di jalanan, warung kopi, atau forum resmi sidang DPRA gemuruh itu sahut-menyahut. Mereka menyuarakan topik yang sama: segera ganti kepala SKPA.
Salah satu kepala SKPA yang banyak jadi sorotan adalah Alhudri, kepala Dinas Pendidikan Aceh. Ia dinilai gagal memimpin instansi pendidikan. Kualitas sekolah-sekolah di Aceh, dikatakan, terpuruk.
Ada yang menggunakan data Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Kemendikbud sebagai basis argumen, yang mengatakan sedikit sekali SMA Aceh yang masuk TOP 1000 sekolah terbaik.
Ada tiga kepala SKPA yang jadi sorotan di sidang DPRA, Kamis 22 Septemer 2022, itu. Badan Anggaran (Banggar) meminta Pj Gubernur Aceh agar melakukan evaluasi mereka yang berkinerja lemah dan segera menggantinya.
Ketiga mereka adalah kepala Dinas Pendidikan, kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, serta kepala Sekretariat Baitul Mal.
Jika kita membuka kembali jejak digital, desakan yang sama sudah terdengar jauh sebelumnya. Seperti disuarakan Sekjen Partai Aceh Kamaruddin Abubakar (Abu Razak) beberapa hari setelah Achmad Marzuki dilantik jadi Pj gubrnur Aceh. Dari empat nama yang disebut Abu Razak, Alhudri termasuk di dalamnya.
Dalam pekan-pekan terakhir, isu mutasi kepala dinas semakin menjadi bola panas. Menggelinding kemana-mana. Publik menangkapnya menurut sudut pandang sendiri.
Demikian pula para pejabat yang jadi sorotan. Ada yang berusaha mencari penyelamatan, dengan berbagai cara. Timbul upaya-upaya resistensi. Menurut pikiran mereka sendiri-sendiri.
Ada yang membangun brand imej bahwa ia sudah berhasil bekerja, meski propaganda itu jadi bahan cemoohan di mana-mana. Ada pula yang melakukannya secara lebih sistematis, dengan cara membangun narasi dan mempublikasikannya lewat media. Meski, akhirnya, apa yang dilakukan itu tak ubah seperti penjual kecap kaki lima.
Di tengah riuhnya isu mutasi, fenomena seperti tadi lumrah saja terjadi. Namanya juga usaha.
Tapi, ada juga yang rada berbahaya. Jika menggunakan ukuran etika dan moralitas.
Ini terkait dengan isu permainan uang pada mutasi kepala SKPA. Katanya mulai bergentayangan calo.
Ada yang mengaku bisa mengurus seorang pejabat untuk bisa mendapatkan jabatan.
Sebuah media online bahkan membuat laporan sangat berani: ada bau gratifikasi dalam mutasi kepala dinas.
Anehnya, tidak lama setelah kemunculan isu yang belum tentu kebenarannya itu, beredar pula dokumen yang diyakini aspal (asli tapi palsu) berupa Instruksi Gubernur (Ingub) Aceh.
Surat berlogo burung garuda dengan format tidak standar itu mengingatkan berbagai pihak agar hati-hati terhadap aktivitas oknum tertentu yang mengatasnamakan Pj Gubernur Aceh dalam mutasi pejabat eselon II.
Surat itu jelas palsu. Orang awam dengan mudah menemukan kejanggalan surat tersebut di sana-sini. Apa lagi para pejabat yang kebanyakan adalah orang cerdas. Pasti tidak terpengaruh. Tapi, substansinya bukan di situ.
Beredarnya Ingub dan fenomena tebar pesona oknum-oknum Kadis seperti dibahas tadi menjelaskan kepada kita, bahwa “”ruang waktu”” yang tersedia mudah dirasuki kepentingan jahat. Desakan publik agar Pj Gubernur Aceh segera memulihkan birokrasi Aceh dari anasir-anasir buruk peninggalan kekuasaan masa lalu, terbukti, mulai dikacaukan oleh kelompok tertentu.
Kelompok-kelompok yang diyakini merupakan loyalis gubernur terdahulu menggunakan segala cara untuk bisa mempengaruhi kebijakan Pj Guberunur Achmad Marzuki. Sekuat tenaga mereka mempertahankan para pejabat yang telah memberi keuntungan kepada mereka, baik itu finansial, kedudukan, dan fasilitas lainnya. Tentu mereka tidak siap jika harus kehilangan itu semua dalam waktu seketika.
Desakan berbagai elemen masyarakat agar Pemerintah Aceh membersihkan birokrasi dari tangan-tangan SDM lemah, adalah aspirasi untuk mengembalikan kerja-kerja birokrasi agar berada di rel yang benar. Agar roda pemerintahan benar-benar bekerja untuk kepentingan publik, seperti program menyiapkan lulusan pendidikan agar berkualitas.
Dengan demikian, generasi masa depan Aceh memiliki bekal ilmu, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai. Sehingga, anak-anak Aceh bisa bersaing dan merebut kesempatan, setara dengan anak-anak lain di luar. Agar tidak ada lagi kebohongan publik dalam mengurus pendidikan, misalnya.
Untuk menggapai harapan masyarakat, seperti disuarakan DPRA, Pemerintah Aceh jangan sampai goyah. Jangan sampai masuk angin.
Agar tidak terkesan didikte, pengambil kebijakan bisa menggunakan aturan yang ada sebagai rujukan dalam melakukan evaluasi dan penggantian kepala SKPA. Misalnya, Permenpan Nomor 40 Tahun 2018, Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019, dan aturan lainnya.
Atau, menggunakan pendekatan kearifan lokal. Misalnya, dengan cara melihat track record penerapan syariat Islam pada seorang figur calon kepala dinas. Apa berani? Coba. Jangan mengangkat mereka yang gampang meninggalkan sholat.
Apapun kebijakan Pemerintah Aceh, masyarakat berharap, keputusan yang akan diambil Pj gubernur memihak rakyat. Karena itu, jangan mudah terpengaruh pressure LSM atau pihak tertentu. Jangan mudah masuk angin![]