KETIKA Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh Alhudri mengundang Satgas Saber Pungli menjadi narasumber di kantor itu, 29 Maret 2021 lalu, Gubernur Nova Iriansyah turut memberi pidato sambutan. Banyak pesan penting yang disampaikan pada saat itu.
Salah satu amanat Nova di hadapan para pejabat Disdik dan undangan yang memenuhi aula megah Jalan Tgk Mohd Daud Beureueh, kala itu, ia mengingatkan satu hal. Selama kepemimpinannya sebagai gubernur, jangan pernah terjadi pungli di sekolah.
Tidak lama berselang setelah Nova berpidato, Alhudri membongkar nyaris habis personil pejabat Disdik. Sejumlah kepala bidang, kepala cabang, dan kepala seksi diganti. Bahkan staf biasa pun banyak yang dikeluarkan dari sana dan ditempatkan ke berbagai dinas lain, di luar instansi pendidikan.
Apakah aksi bongkar Alhudri mengeluarkan orang-orang lama dari Disdik merupakan bagian dari upaya membersihkan lembaga itu dari stigma negatif “sarang penyamun” yang pernah terlanjur ditabalkan orang beberapa waktu lalu? Atau, juga cara dia mengimplementasikan perintah gubernur, bahwa jangan ada pungli di jajaran Dinas Pendidikan.
Yang pasti, setelah itu, Disdik Aceh “sudah dibersihkan”. Konon, kabarnya, dia membawa orang sendiri sebagai personil kepercayaan. Beberapa diboyong dari Dinas Sosial, sebagian lainnya dari Satpol PP. Menurut informasi, Alhudri pernah menjabat sebagai kepala di kedua instansi tersebut sebelumnya.
Kalau aksi bongkar dengan cara “”membuang”” orang-orang yang sudah berpengalaman di Disdik bertujuan dalam rangka membangun pendidikan secara lebih baik, lebih berkualitas, bebas dari perbuatan tercela seperti pungli, kita tentu harus angkat topi.
Masyarakat Aceh harus menyampaikan penghargaan. Alhudri pantas diberi dukungan. Karena, kepemimpinan Disdik di tangan Alhudri memiliki tujuan mulia, menyiapkan generasi masa depan Aceh yang juga adalah anak-anak masyarakat.
Secara teori, SDM handal yang memiliki daya saing tinggi, hasil kerja tangan Alhudri dan tim, tentu akan membawa Aceh menyongsong masa depan gemilang. Ini sejalan pula dengan visi-misi yang telah ditancapkan oleh pasangan Irwandi-Nova pada saat kampanye dulu: Aceh Hebat.
Kita sebenarnya sedang deg-degan menunggu kejutan, prestasi luar biasa sebagai buah dari pembersihan yang baru dilakukan Kadisdik Alhudri. Dengan tim yang solid, orang-orang kepercayaan, kita berpikir, pasti orang nomor satu di instansi paling berwenang menghitam-putihkan masa depan anak Aceh itu tidak mengalami kendala untuk menggapai prestasi.
Apa lagi didukung anggaran yang memadai. Beda ketika dia memimpin Dinas Sosial atau Satpol PP. “Sulit menghijaukan Aceh,” istilah Alhudri untuk menggambarkan prestasi.
Tapi … saat mimpi indah siang bolong yang dibangun Alhudri belum terwujud, publik dikejutkan sebuah isu. Ada dugaan pungli yang dilakukan oleh oknum kepala cabang dinas (Kacabdis) terhadap kepala sekolah di Aceh Tenggara (Agara). Katanya, oknum ini — menggunakan dua orang kepercayaannya — meminta uang kepada calon kepala sekolah (kepsek) yang akan dipromosi sebesar Rp 20 juta.
Untuk mereka yang sudah menduduki jabatan, juga harus setor. Tapi, cukup Rp 15 juta. Tragisnya, oknum yang diduga melakukan perilaku tercela itu, konon, justeru merupakan orang kepercayaan Kadisdik Alhudri.
Kacabdis Agara, Sarpin, sudah diperiksa oleh sebuah tim yang dipimpin langsung kepala Disdik pada Selasa 13 Juli 2021. Seperti diberitakan media, pejabat ini telah menyampaikan klarifikasi kepada atasannya. Dia tidak pernah melakukan pekerjaan tercela, pungli, sebagaimana lantang disuarakan LSM Aceh Tenggara.
Tim yang dipimpin Alhudri, kabarnya, juga tidak mudah percaya begitu saja bantahan Sarpin. Makanya, sebuah tim lain ditugaskan untuk mengumpulkan informasi dari lapangan.
Publik sama berharap, Sarpin tidak bersalah. Tapi, suara-suara lantang LSM Kutacane juga bukan sebuah fakta yang bisa diabaikan begitu saja. Apa lagi jika mendengar cuitan seorang akademisi menyindir kasus ini. “Kalau tidak ada api, tidak mungkin ada asap.”
Sebenarnya, jauh sebelum kasus Sarpin merebak, isu serupa juga sudah lebih dulu menggelinding di daerah lain. Hanya saja, belum ada yang berani bersuara. Katanya, ada oknum tertentu yang turun bergerilya menawarkan jabatan kepala sekolah. Tapi, tentu saja tidak gratis.
Sejauh mana kebenaran informasi-informasi ini, tentu, butuh pendalaman. Termasuk melalui kerja profesional tim “independen” yang diturunkan Kadisdik.
Tapi, ada hal penting yang perlu digarisbawahi dalam kasus ini. Harus diingat, bahwa guru dan “orang-orang lemah” di sekolah adalah obyek yang mudah menjadi sasaran empuk apa saja. Termasuk menjadi obyek pungli. Apa lagi jika yang datang menjumpai mereka membawa “maop”. Pasti mereka akan diam seribu bahasa. Jika sudah begini, maka praktek tercela akan berjalan mulus dan aman seaman-amannya.
Publik berharap, dugaan pungli di Agara menjadi pelajaran berharga. Banyak pihak yang tidak mengharapkan itu, terutama Pak Gubernur, seperti harapannya ketika berpidato pada acara Saber pungli.
Karena itu, Disdik di bawah kepemimpinan Alhudri harus menindaklanjutinya dengan benar-benar serius, bukan seperti istilah yang sedang populer di Jakarta. Sekedar lip service. Jangan hanya bersih-bersih secara fisik seperti membuang PNS Disdik ke luar. Lebih ke substansi, bagaimana bekerja lebih profesional meningkatkan mutu pendidikan.
Yang lebih utama harus disingkirkan, justeru, sikap mental tercela. Sikap rakus yang hanya mementingkan materi dari setiap agenda. Lembaga pendidikan harus bersih dari keonaran seperti itu.
Karena itu, jangan berhenti di Agara saja. Bersihkan juga “Sarpin-sarpin” lain, yang mungkin saja bercokol pada diri sendiri dan di lingkungan terdekat. Juga di seluruh wilayah Aceh tercinta. Semoga pendidikan Aceh bertambah mulia.[]