WAKTU itu, saya bekerja untuk beberapa media sekaligus. Dua terbitan Jakarta dan satu media lokal yang berkantor di Banda Aceh.
Yang satu di Jakarta, majalah dengan segmen pembaca muslim. Media kedua, berbentuk tabloid. Tampilannya sangat menarik, elegan, dengan cover yang dominan warna kuning.
Di Banda Aceh, melibatkan sejumlah tokoh penting, saya ikut mengelola tabloid baru. Beberapa tim yang pernah tergabung ke dalam manajemen Redaksi, sudah menjadi orang; ada yang meneruskan profesi sebagai wartawan di media lain, menjadi aktifis LSM, dan beberapa menjadi PNS.
Tabloid itu bernama Karisma. Kami-lah satu-satunya media, waktu itu, yang pertama sekali melakukan wawancara langsung dengan Wali Nanggroe, Paduka yang Mulia Hasan Tiro, yang waktu itu, bermukim di Stockholm, Swedia.
Wawancara kami lakukan secara tertulis. Sebetulnya, lebih tepat tidak saya sebutkan “kami” untuk pekerjaan ini. Karena, sesungguhnya, saya sendirilah yang punya inisiatif, menyusun daftar pertanyaan, mengirimkannya melalui mesin faximile ke nomor markas GAM di Swedia, hingga menurunkannya dalam bentuk laporan khusus di Tabloid Karisma. Meskipun penggarapan proyek ini juga dibicarakan dalam rapat Redaksi.
Tapi di sini, harus saya tulis “kami”, karena konteksnya menyangkut lembaga Redaksi.
Kenapa saya perlu memberi penjelasan yang rada subyektif seperti itu? Ada “insiden” pasca-terbitnya laporan edisi wawancara khusus dengan Wali Nanggroe Hasan Tiro yang menjelaskan, seolah-olah semua yang terjadi adalah hasil kerja saya pribadi.
Peristiwa itu terjadi antara tahun 1999 hingga 2000. Saya tidak sanggup lagi mengingat waktu persisnya kejadian ini. Yang pasti, Aceh waktu itu masih diliputi suasana mencekam. Aceh masih dalam status darurat militer. Tapi pamor GAM waktu itu sedang begitu kuat.
Apa saja berita tentang GAM menjadi laris manis. Tapi, banyak media yang belum berani mengambil resiko. Belum ada yang berani melakukan wawancara dengan pimpinan tertinggi GAM.
Kembali ke cerita wawancara Hasan Tiro. Setelah edisi ini beredar, suasana Redaksi menjadi panas-dingin. Para pimpinan mulai ketakutan. Takut diambil.
Pemimpin Redaksi Boestamam Ali, mondar-mondar di ruangan Redaksi. Ia keluar masuk, teras – redaksi. Kelihatan sekali ketegangan di wajahnya. Gelisah.
Rupanya di teras kantor, sudah ada Pemimpin Umum. Juga dengan wajah gelisah. Dalam nada menyindir, ia berkata: “Kajeut Pak Bus. Mulai malam nyoe, kajeut jak bungkoh bajee (Baik-lah Pak Bus. Mulai malam ini, sudah bisa siapkan koper),” ujar Pemimpin Perusahaan.
Pernyataan itu secara implisit hendak menjelaskan, bahwa tulisan wawancara khusus dengan Hasan Tiro pasti menimbulkan masalah. Dalam perkiraan mereka, ini pasti berujung dengan pemanggilan oleh pihak keamanan.
Saya terpojok. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Sebagai “anak bawang”, saya tidak mampu membela diri.
Mereka ada benarnya. Sebab, ketika inisiatif wawancara Hasan Tiro saya sampaikan dalam rapat Redaksi, sebagian yang hadir bersemangat mendukung. Tapi, banyak juga unsur pimpinan yang belum mendapat informasi yang lengkap tentang “proyek” ini. Dalam situasi ini memang selalu ada dilema antara pertimbangan rasional dan tuntutan deadline.
Akhirnya, “tragedi” wawancara Hasan Tiro yang dijadikan laporan khusus edisi tersebut harus saya “telan” menjadi kesalahan saya sendiri sebagai Redaktur Pelaksana.
Suasana panas itu terjadi di kantor Redaksi Tabloid Karisma kawasan Kuta Alam. Di lapangan, edisi khusus wawancara Hasan Tiro itu justeru mencatatkan angka penjualan tertinggi.
Begitu tabloid sampai ke tangan agen, pagi itu, langsung ludes. Karisma tidak ditemukan lagi di kios-kios koran di Peunayong dan di semua kedai penjual koran seluruh Aceh. Edisi itu diburu pembaca.
Yang menarik, pada suatu siang beberapa hari kemudian, ketika saya melintas di kawasan Beureuenuen, Pidie. Saya menemukan pemandangan mengejutkan.
Waktu itu, saya dalam misi wawancara dengan Panglima GAM Abdullah Syafi’ie. (Kenangan wawancara dengan Tgk Abdullah Syafi’ie akan saya turunkan dalam tulisan terpisah).
Di depan sebuah kios koran, saya betul-betul terperanjat. Perasaan saya campur-baur. Ini betul-betul pemandangan yang sama sekali tidak pernah terbayangkan.
Bukan menemukan tabloid Karisma edisi wawancara Wali Nanggroe. Tapi, justeru saya melihat kertas faks yang memuat daftar wawancara saya dengan Hasan Tiro difotokopi dan dipajang di deretan koran dan majalah.
Dalam hati saya menduga-duga, mungkin, setelah koran habis terjual, masih banyak warga yang mencari Karisma. Fenomena itu saya maknai, betapa begitu besarnya keinginan publik waktu itu untuk mengetahui kabar tentang Wali Nanggroe. Sekecil apa pun kabar itu. Meski hanya lewat kertas fotokopi teks wawancara Redaksi Karisma.
Saya tidak sempat menanyakan, dari mana si pemilik kios mendapatkan teks wawancara itu. Dalam hati, ada rasa was-was, sedikit ketakutan. Sempat terlintas di pikiran, bisa saja “teks wawancara” itu menyebabkan saya berurusan dengan pihak keamanan. Karena, bisa saja kalimat-kalimat di dalamnya dipahami secara berbeda, misalnya sebagai sikap yang pro pada perjuangan GAM.
Saya cepat berlalu dari depan kios itu. Bergegas mencari kendaraan umum untuk mencapai masjid Teupin Raya, lokasi penampungan pengungsi korban konflik. Di sana, saya hendak menemui “kaki tangan” GAM untuk mendapatkan informasi, bagaimana saya bisa menemui Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie.
Peristiwa di depan kios koran Beureunuen menyisakan nilai kepuasan tersendiri. Kepuasan bagi seorang pekerja pers ketika hasil karyanya memiliki nilai di hati pembaca. Ketika karya itu dinilai bermakna, sekecil apa pun itu.[]