AMBISI Marthunis, kepala Dinas Pendidikan Aceh, ingin membawa daerah ini masuk 10 besar nasional — dalam prestasi pendidikan — terdengar sangat bombastis. Ibarat pepatah Aceh, Marthunis keuneuk côt buleuen ngon puténg sadeup (menggapai bulan dengan ujung sabit). Sangat tidak realistis.
Pada satu sisi, kita ikut senang mendengarnya. Gagasan itu tetap harus dihargai.
Itu niat baik dan mulia. Tapi tentu saja, tidak boleh semua ikut melayang mengikuti tingginya angan-angan Marthunis. Logika dan kesadaran tetap harus dikedepankan.
Ibaratnya kalau “dagangan” cuma 10 biji semangka, jangan berharap mendapatkan keuntungan besar. Hendak membeli Kijang Inova. Tidak masuk akal, kecuali kalau isinya emas semua.
Begitulah tidak realistisnya. Tak ubahnya ibarat mimpi di siang bolong.
Coba lihat kondisi pendidikan Aceh hari ini yang hancur-lebur. Ekses masa lalu yang meninggalkan berbagai kesemrawutan.
Sementara itu, belum terlihat ketegasan membenahi. Terkesan masih teujak-teudong (jalan di tempat)
Memang, sih! Ada pameo memberi pelajaran, makan bubur panas harus dimulai dari pinggir piring. Itu ada benarnya.
Tapi “bubur” Disdik bukan sekedar panas, juga menggelegak. Bisa membuat terpental, seperti yang dirasakan mantan Kadis Rahmat Fitri dan beberapa lainnya. Mereka tak berdaya setelah “di-gruep” bubur menggelegak itu.
Disdik sudah kronis. Ibarat kanker harus ada treatment dengan dosis yang tepat untuk mengobati stadium tingkat tinggi, dan final! Pada aspek tertentu, mungkin, diperlukan tindakan amputasi.
Dengan kondisi yang ada hari ini, top ten, ibarat sebuah khayalan orang nonton sinetron. Merasa sudah terbang melayang tinggi ke angkasa, padahal kaki masih menapak di bumi.
Untuk mencapai mimpi besar tentu dibutuhkan energi dan sumber daya yang besar pula. Bagaimana dengan modal yang dimiliki (pendidikan Aceh) hari ini?
Untuk melihatnya, mungkin, cukup digunakan analisis SWOT yang sederhana. Pertama sekali, coba lihat aspek kekuatan.
Kalau, misalnya, sudah ada pemetaan kondisi sekolah, berapa yang tingkat penerapan SPM-nya sudah tercapai dan berapa yang masih terseok-seok? Di dalam aspek Strength juga perlu dilihat kemampuan dan kompetensi mengajar guru, daya serap kurikulum, dan dukungan sarana pembelajaran. Apakah seluruh sekolah sudah mencapai rasio yang ideal?
Secara realistis, Aceh justeru masih sangat banyak menghadapi Weakness (kelemahan). Minat belajar siswa di sekolah-sekolah marginal, terutama, dan rendahnya disiplin guru. Ini dua masalah yang saling berkelindan. Kemudian, ditambah lagi minimnya peran-serta masyarakat (orang tua).
Yang juga tidak boleh diabaikan adalah aspek Threats (ancaman).
Disdik boleh saja menyusun semua mimpi muluk-muluk, tetapi begitu datang tekanan dari luar bisa membuyarkan semuanya. Akhirnya — takut-takut — terpaksa memainkan drama palsu seakan-akan semua baik-baik saja. Seperti yang terjadi sekitar tiga tahun sebelumnya.
Salah satu potensi Threats itu, kalau yang sudah-sudah, bisa berasal dari “”gedung sebelah””. Apakah Disdik sanggup menghadapi segala bentuk “tekanan” atas nama pokir? Itu baru salah satu contoh.
Yang sudah-sudah begitu besar anggaran terserap untuk memenuhi hasrat politik mereka. Proyek penimbunan halaman, rehab ini itu, misalnya. Mereka sangat lihai som salah peuleumah saleh.
Tim Disdik apakah terdiri dari SDM yang bisa diandalkan semua? Rasa-rasanya tidak! Itu juga tantangan.
Mungkin bukan top ten yang lebih realistis untuk kondisi Aceh hari ini.
Target 10 besar itu bukan barang baru. Isunya sudah pernah dicoba angkat beberapa waktu lalu. Tapi, kendalanya memang tidak sederhana.
Di samping itu, top ten seperti disinggung oleh Lembaga Advokasi dan Studi Kebijakan Pendidikan (LASKaP) lebih ke prestise. Sementara substansi pendidikan bukan ke sana.
Coba dilihat berapa efek positif yang mampu disumbangkan oleh mereka yang keluaran sekolah favorit di masyarakat? Dimana mereka sekarang?
Pendidikan ekslusif hanya akan memproduk kesenjangan, melahirkan kasta elit. Mereka akan tercerabut dari nilai-nilai sosial budaya dan kemasyarakatan. Mereka cenderung melihat apa-apa dengan kaca mata materialistik dan instan. Apakah pendidikan akan memproduksi calon pejabat semuanya atau ahli nuklir? Kan tidak!
Kehidupan bukan hanya soal kerja kantoran atau melahirkan elit semuanya. Pendidikan harus memberdayakan. Karena kehidupan sosial harus berkualitas di semua lini. Bahkan, seorang ibu rumah tangga — yang perannya sering dipandang secara keliru — juga harus memiliki pola pikir berkualitas.
Karena, pendidikan sudah dimulai dari keluarga.
Jadi, perbaikan kualitas SDM itu dibutuhkan di semua lini. Tidak boleh parsial.
Makanya, keadilan membangun pendidikan harus terjadi secara massif di semua wilayah, untuk semua tingkatan. Harusnya!
Yang penting menjadi fokus, sebenarnya, adalah bagaimana menghadirkan keadilan dalam layanan pendidikan. Jangan yang kaya makin dimanja, yang miskin semakin tersingkir.
Yang mestinya difokuskan adalah mengupayakan agar kualitas pendidikan merata. Jangan memperdalam kesenjangan dengan memanjakan sekolah unggul saja. Kualitas guru bagaimana?
Instrumen pendukung juga jangan diabaikan. Laboratorium, pemahaman aparatur birokrasi atau fungsi supervisi yang dari masa ke masa belum terlihat kinerjanya.
Padahal teknologi sudah semakin pesat. Tapi aparatur pendidikan selalu berada selangkah di belakang. Ini kan tidak sejalan dengan misi edukasi?
Bangunlah kualitas secara merata. Jangan hanya untuk sekolah di kota saja.
Janganlah pendidikan hanya dipandang sebatas top ten atau 10 besar yang bernuansa kapitalistik.
Pendidikan harus dikembalikan kepada fungsi sebenarnya, mencapai peradaban yang menjunjung tinggi etika dan moral. Bukan semata prestise!
Jangan sampai terbalik. Pendidikannya tinggi dan elit, tapi gagal membentuk akhlak karimah. Melakukan korupsi malah biasa saja.
Jadi, bukan top ten. Itu tidak realistis.[]
- Anggota Dewan Redaksi KabarAktual.id