ACEH akan memulai sebuah fase baru di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf dan Wagub Fadhlullah. Kepemimpinan keduanya diharapkan membawa harapan baru untuk Aceh.
Pada saat yang sama, negara juga sedang dihadapkan dengan kebijakan efisiensi yang sangat ketat. Semua itu menyebabkan daerah tidak mudah untuk melaksanakan tugas pembangunan menyejahterakan rakyat.
Dibutuhkan effort, terobosan, dan ide-ide cemerlang untuk bisa terus melangkah. Dan, sudah pasti tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan-pendekatan lama.
Mengapa Aceh Perlu Meninggalkan Pola Lama?
Aceh selama ini terperangkap dalam pola pembangunan yang terlalu bergantung pada belanja pemerintah dan distribusi dana transfer dari pusat. Ketergantungan ini menciptakan kondisi stagnan di mana sektor ekonomi tidak berkembang secara organik. Padahal, Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian, perikanan, industri berbasis sumber daya alam, serta pariwisata. Namun, tanpa perubahan mendasar dalam pendekatan pembangunan, potensi ini akan terus menjadi sekadar potensi tanpa realisasi nyata.
Transformasi pembangunan Aceh harus diarahkan menuju model yang lebih dinamis, berbasis produktivitas dan inovasi. Dengan kebijakan yang mendorong investasi swasta, penguatan daya saing sumber daya manusia, serta perbaikan iklim usaha, Aceh dapat keluar dari jebakan ekonomi berbasis konsumsi.
Reformasi birokrasi yang pro-investasi dan pembangunan infrastruktur strategis menjadi elemen penting dalam mewujudkan hal ini. Dengan perubahan ini, Aceh tidak hanya akan terbebas dari ketergantungan ekonomi, tetapi juga dapat menjadi pemain utama dalam perekonomian nasional dan global.
Teori Distraksi: Mengalihkan Fokus ke Arah Kemajuan
Penerapan teori distraksi dalam konteks pembangunan Aceh dapat menjadi strategi revolusioner untuk menggeser pola pikir masyarakat dan pemangku kebijakan dari rutinitas yang stagnan menuju inovasi dan efisiensi. Distraksi di sini bukanlah gangguan negatif, tetapi cara untuk mengalihkan perhatian dari ketergantungan terhadap dana otonomi khusus dan kebiasaan birokrasi yang lambat ke arah solusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, daripada terus berdebat soal anggaran transfer daerah, lebih baik energi difokuskan pada pembangunan ekosistem bisnis yang lebih sehat, seperti pengembangan zona ekonomi khusus, digitalisasi layanan publik, serta promosi ekspor produk unggulan Aceh seperti kopi Gayo, hasil perikanan, dan produk turunan dari industri perkebunan. Dengan menggeser fokus ke hal-hal produktif, Aceh akan lebih siap dalam menghadapi tantangan ekonomi serta sosial.
Mewujudkan Perubahan: Inovasi dan Produktivitas sebagai Pilar Kemajuan
Perubahan tidak bisa hanya menjadi wacana, tetapi harus diwujudkan dalam langkah-langkah konkret yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan dunia usaha. Salah satu tantangan terbesar di Aceh adalah rendahnya tingkat inovasi dan produktivitas di berbagai sektor ekonomi. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan berbasis aksi untuk membawa Aceh ke arah yang lebih kompetitif.
Langkah pertama adalah memperkuat pendidikan dan pelatihan berbasis teknologi serta kewirausahaan karena kurikulum pendidikan yang diajarkan selama ini “belum in line” dengan kebutuhan dunia kerja.
Generasi muda Aceh harus dipersiapkan untuk menjadi pelaku industri kreatif dan digital, bukan hanya pekerja di sektor tradisional yang semakin menyempit. Selain itu, pemerintah harus mendorong kemudahan berusaha dengan menghapus regulasi yang menghambat, mempercepat proses perizinan, serta memberikan insentif bagi industri bernilai tambah tinggi.
Di sisi lain, sektor unggulan seperti perikanan tangkap dan budidaya, industri pengolahan hasil pertanian, serta pariwisata berbasis budaya dan alam harus mendapat dukungan konkret. Infrastruktur pendukung seperti bandara dan pelabuhan ekspor, jaringan logistik yang efisien, serta kawasan industri berbasis teknologi harus segera diwujudkan agar Aceh bisa bersaing dengan daerah lain, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Hal ini menjadi sangat penting karena Aceh punya produk unggulan istimewa dan unik seperti lobster dan kepiting hidup yang sangat membutuhkan sarana pendukung seperti bandara cargo yang dapat terbang langsung ke negara tujuan.
Strategi Mengatasi Kemiskinan, Ketergantungan, dan Resistensi terhadap Perubahan
Kemiskinan, ketergantungan ekonomi, dan resistensi terhadap perubahan adalah tiga tantangan utama yang harus diatasi agar Aceh bisa berkembang. Kemiskinan di Aceh bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga akibat dari pola pikir yang terbentuk akibat ketergantungan jangka panjang terhadap bantuan pemerintah. Sementara itu, resistensi terhadap perubahan muncul karena ketidakpastian dalam transisi menuju model ekonomi yang lebih mandiri.
Untuk mengatasi kemiskinan, Aceh harus mengembangkan strategi berbasis pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Program yang mendorong kemandirian masyarakat, seperti akses permodalan berbasis syariah bagi UMKM, penguatan rantai nilai pertanian dan perikanan, serta pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan pasar global harus diperkuat.
Di sisi lain, ketergantungan terhadap dana transfer pusat harus dikurangi dengan memperkuat sektor-sektor yang dapat menghasilkan pendapatan asli daerah secara mandiri. Pendekatan berbasis investasi dan ekspor harus menjadi prioritas, termasuk dalam mengembangkan industri hilir dari komoditas unggulan seperti kopi, kakao, perikanan, dan hasil hutan.
Selain itu, potensi industri pariwisata harus diperkuat dengan memperhatikan faktor 4A (Akses, Atraksi, Ansilari, dan Amenities). Pengembangan akses yang lebih baik melalui infrastruktur transportasi, peningkatan atraksi wisata berbasis budaya dan alam, penguatan layanan pendukung wisata (ansilari), serta penyediaan fasilitas dan amenitas yang berkualitas akan membuat Aceh lebih kompetitif di industri pariwisata nasional dan global.
Untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, pemerintah perlu melakukan komunikasi yang efektif dengan masyarakat dan pemangku kepentingan. Sosialisasi mengenai manfaat perubahan, contoh konkret dari daerah lain yang telah sukses, serta penyediaan jaring pengaman sosial bagi kelompok yang terdampak akan membantu mempercepat proses adaptasi.
Dengan strategi yang tepat, Aceh tidak hanya bisa keluar dari stagnasi yang telah berlangsung lama, tetapi juga bisa menjelma menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia, yang mampu berkompetisi di tingkat global.[]
Penulis: pemerhati pembangunan dan kepala Bea Cukai Aceh