SETIAP 25 November, Hari Guru dirayakan dengan kemeriahan seremonial. Ucapan-ucapan manis yang seolah penuh penghormatan berseliweran di media sosial. Di berbagai tempat, dinas pendidikan juga kerap menyerahkan penghargaan simbolis kepada sejumlah guru.
Namun, apa makna semua itu? Perayaan Hari Guru sering kali lebih menjadi ajang para pejabat menampilkan citra diri sebagai sosok paling peduli terhadap guru. Sementara itu, realitas berbicara lain: nasib pahit justru masih ditanggung para pendidik bangsa. Tanggung jawab mereka yang besar untuk mencerdaskan generasi muda tidak diimbangi dengan perhatian serius dan layak dari pemerintah maupun masyarakat.
Kita kerap mendengar kalimat “guru adalah ujung tombak pendidikan” atau “guru adalah pahlawan bangsa”. Namun, kesejahteraan mereka yang disebut pahlawan itu tak pernah benar-benar menjadi prioritas pembangunan.
Di Aceh, misalnya, insentif guru ASN di bawah Dinas Pendidikan Provinsi yang diharapkan dapat membantu meningkatkan taraf hidup sering terlambat dicairkan. Sejak Maret hingga November, pencairan yang dijanjikan terus tertunda. Pola ini berulang setiap tahun. Apakah ini bentuk penghormatan, atau justru pengabaian yang disembunyikan di balik panggung bunga dan sambutan basa-basi?
Lebih memilukan lagi nasib guru honorer. Mereka bukan ASN dan bertahan hidup dengan pendapatan yang jauh di bawah standar upah minimum, sementara biaya hidup terus meningkat tanpa mampu mereka kejar.
Yang lebih ironis adalah kondisi guru yang mengabdi di sekolah swasta. Mereka mengajar dengan tanggung jawab yang sama, mendidik anak negeri yang sama, tetapi kebijakan negara terhadap mereka justru timpang dan diskriminatif. Banyak guru swasta tidak mendapat akses adil untuk mengikuti seleksi PPPK hanya karena status lembaganya. Padahal, mereka juga membimbing generasi bangsa yang membutuhkan pendidikan terbaik.
Masalah tidak berhenti pada soal kesejahteraan. Guru kini juga dibebani persyaratan administratif yang menghabiskan energi. Waktu di sekolah, yang seharusnya digunakan untuk interaksi pembelajaran dan pembentukan karakter, justru terkuras untuk mengisi berlapis-lapis dokumen yang tak pernah jelas siapa pembacanya dan apa manfaatnya. “Hana tateumeu uruih aneuk mit, but meutamah-tamah laju,” keluh seorang guru yang menjelaskan bahwa waktu untuk murid tersingkir oleh tuntutan laporan yang tak berkesudahan.
Sistem yang mengekang ini bahkan seolah tak memperhitungkan dampaknya terhadap siswa. Ketika waktu guru habis di depan komputer, siswa kehilangan hak untuk mendapatkan pendampingan terbaik. Maka, pantaskah kita terus menyebut guru sebagai ujung tombak pendidikan jika sistem justru mematahkan tombak itu sebelum dapat dipergunakan?
Lebih getir lagi, posisi guru kini semakin rentan. Sedikit saja salah langkah dalam mendisiplinkan siswa, mereka bisa terancam kriminalisasi. Banyak kasus menunjukkan guru dihukum tanpa mempertimbangkan konteks, tekanan, dan dinamika persoalan di kelas. Masyarakat sering lupa bahwa guru juga manusia, bukan sosok sempurna, tetapi selalu dituntut menjadi benteng moral bangsa di tengah kerusakan moralitas sosial yang semakin mengkhawatirkan. Ketika terjadi penyimpangan perilaku, guru yang pertama disalahkan, sementara negara dan orang tua melepaskan tanggung jawab.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan zaman yang begitu cepat turut memperburuk keadaan. Televisi sibuk mengejar rating, media sosial membentuk generasi yang lebih banyak hidup di dunia maya daripada realitas. Anak-anak memperoleh akses tanpa pendampingan, orang tua sibuk bekerja, dan ketika muncul dampak buruk, guru kembali menjadi kambing hitam.
Haruskah guru berkata, “Kami terima. Kami memang bukan siapa-siapa. Kami hanya pelengkap dalam sistem yang tak peduli, dan kami siap disalahkan kapan saja”?
Ini bukan sekadar keluhan. Ini jeritan panjang yang lama terpendam. Karena itu, Hari Guru semestinya tidak lagi menjadi seremoni kosong, tetapi momentum refleksi nasional. Guru tidak membutuhkan ucapan manis yang menguap setelah sehari. Yang mereka butuhkan adalah perhatian nyata: kebijakan yang adil, kesejahteraan layak, perlindungan hukum, insentif yang tidak tertunda berbulan-bulan, serta penghargaan yang tidak berhenti pada retorika.
Jika suara guru terus diabaikan, jangan terkejut bila suatu saat tak ada lagi yang ingin menjadi guru.
Bangsa ini tidak akan pernah maju tanpa mereka. Sudah saatnya guru tidak hanya dipuji, tetapi benar-benar dihargai melalui tindakan nyata. Jika tidak, Hari Guru akan terus menjadi panggung ironi; diperingati setiap tahun, tetapi tak pernah mengubah apa pun.[]
Ramadhan Al-Faruq, Alumni IAIN Ar-Raniry












