Empat Pulau Empat Batalyon

Gambar ilustrasi dibuat oleh AI

HEBOH empat pulau milik Aceh di perairan Singkil yang status teritorialnya dipindahkan oleh Pusat menjadi milik Sumatera Utara, baru saja usai. Sebuah peristiwa yang, sejenak, berhasil memancing semangat “nasionalisme” keacehan.

Berbagai elemen masyarakat — terutama politisi, menjadikannya panggung untuk tampil bak pahlawan — ikut latah merespons. Suasana seakan-akan hendak pecah perang antara Aceh dan Sumut. Apakah dinamika itu sebuah agenda setting? Entah juga.

Tapi, cerita empat pulau itu benar-benar seperti sebuah episode drama. Muncul kembali — setelah kasusnya mengendap sekian lama — secara tiba-tiba dan berakhir juga dengan happy ending tanpa derai air mata. Apa lagi darah!

Ada hal menarik untuk ditelisik sesaat setelah usainya “perang” yang membangkitkan sentimen kedaerahan terkait empat pulau. Di kala masyarakat resah meributkan empat pulau, Gubernur Aceh Muzakir Manaf justeru anteng-anteng saja.

Mantan Panglima GAM yang biasa disapa Mualem itu seakan tidak menganggap permasalahan tersebut sebagai sebuah perkara serius. Dia tidak terlihat syeh-syoh menanggapi dinamika yang merisaukan publik Aceh.

Setidaknya, sikap “cuek” Mualem menyikapi kisruh empat pulau itu terlihat pada dua momentum. Pertama, ketika dia dengan “sarkas” meninggalkan begitu saja Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang datang khusus ke Aceh untuk menemuinya di Banda Aceh.

Ini adalah sinyal kuat bahwa kedatangan Bobby bersama Bupati Tapanuli Tengah dan rombongan — untuk membahas empat pulau — bukanlah hal yang perlu ditanggapi serius. Makanya, Mualem lebih memilih meninggalkan tamunya yang notabene menantu eks presiden Jokowi tersebut.

Sikap enteng kedua terbaca saat Mualem menanggapi sebuah pertanyaan mengenai kepemilikan pulau-pulau itu. Ia hanya menjawab dengan kalimat singkat dan tegas. “Nyan ata geutanyo (Itu punya kita),” ucapnya terkesan menyiratkan kepastian.

Kisruh empat pulau pun tidak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian, Kemendagri merevisi keputusannya. Empat pulau, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, pun kembali ditetapkan sebagai milik Aceh.

Usai ribut empat pulau, muncul kehebohan baru di Aceh. Pemerintah Pusat menambah empat batalyon TNI.

Kebetulan saja jumlahnya sama-sama empat. Empat pulau dan empat batalyon. Juga momentumnya, berdekatan.

Tapi, nominal itu jangan diasumsikan sebagai perkara transaksional. Jangan ada anggapan empat pulau dibarter dengan empat batalyon. Jangan, bahaya!

Meskipun ada kritik dari masyarakat Aceh, sebelumnya, yang memprotes rencana penambahan militer tersebut seperti disuarakan Sekjen PA. Elit partai penguasa di Aceh ini menilai, bahwa penambahan batalyon baru adalah langkah mundur dan harus dihentikan.

Pemerintah tetap pada keputusannya. TNI tetap menambah empat satuan dan sudah resmi beroperasi di beberapa kabupaten di Aceh pada 16 Juli 2025.

Harus diingat. Aceh adalah bagian dari NKRI. Penambahan satuan militer merupakan kewenangan Pemerintah. Rakyat melalui wakilnya di DPR telah memberikan otoritas kewenangan itu kepada pemerintah untuk mengatur soal keamanan, termasuk pertimbangan menambahkan empat batalyon di Aceh.

Penambahan satuan militer itu tentu sudah melewati analisis yang cukup. Soal tantangan, ancaman, dan peluang tentunya. Itu saja yang bisa disampaikan di sini. Sekian!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *