PAGI itu, saya membaca pernyataan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kebiasaan memberikan hadiah kepada guru dari orang tua siswa dalam momen-momen tertentu berpotensi masuk dalam kategori gratifikasi,” demikian bunyinya.
Sekilas, ini mungkin terdengar kaku — atau bahkan — seperti bentuk ketidakpercayaan terhadap profesi guru. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, peringatan ini justru bermuatan nilai etika yang sangat penting dalam dunia pendidikan.
Seorang ibu yang baru saja anaknya lulus SMA sempat berkomentar: “Tidak semua hadiah atau pemberian untuk guru itu termasuk gratifikasi. Kadang itu hanya bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih kami sebagai orang tua.”
Saya sangat memahami niat baik dan ketulusan yang mungkin melandasi pemberian tersebut. Wajar, karena guru memang memegang peran penting dalam membentuk karakter dan masa depan anak-anak kita.
Namun demikian, dalam konteks sistem pendidikan kita saat ini yang bukan lagi hanya mendidik karakter, tetapi juga menghasilkan penilaian berupa angka dalam rapor dan ijazah sehingga pemberian hadiah berpotensi memunculkan dilema etik. Niat baik sekalipun bisa menciptakan ruang tafsir yang membingungkan, apalagi jika terjadi secara sistematis atau berlangsung dalam lingkungan yang tidak transparan.
Pertanyaannya apakah semua guru memiliki kekuatan moral yang sama untuk menolak pemberian tersebut? Bagaimana jika sebagian merasa sungkan atau justru terbiasa menerimanya? Lebih jauh, bagaimana jika pemberian itu menimbulkan kesenjangan perlakuan antara anak yang orang tuanya memberi hadiah dan yang tidak?
Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana ada orang tua yang menyelipkan harapan agar nilai anaknya “dibantu” lewat pemberian yang tampaknya sepele. Inilah yang perlu diwaspadai. Karena di titik ini, kita sudah keluar dari wilayah “terima kasih” dan masuk ke zona “gratifikasi” yang sesungguhnya yaitu pemberian dengan harapan timbal balik.
Bayangkan pula jika ada orang tua yang sebenarnya tidak mampu, namun merasa terpaksa memberi karena khawatir anaknya akan diperlakukan berbeda dari teman-temannya. Maka, yang muncul bukan rasa syukur atau penghargaan, melainkan tekanan sosial yang tak sehat.
Peringatan KPK sebenarnya bukan bentuk kebencian terhadap guru, melainkan ajakan untuk menjaga kehormatan profesi guru itu sendiri. Justru karena kita menghargai peran guru sebagai pendidik bangsa, kita ingin mereka terbebas dari godaan, tekanan, atau intervensi yang bisa mencemari proses belajar-mengajar yang seharusnya netral dan adil.
Ucapan terima kasih kepada guru tentu bisa tetap diberikan, tapi dalam bentuk yang tidak menimbulkan konflik kepentingan. Bisa melalui apresiasi terbuka di forum sekolah, testimoni yang membangun, atau bahkan partisipasi orang tua dalam kegiatan pendidikan yang bersifat kolektif dan transparan.
Mari kita pahami, mendukung integritas guru dan sistem pendidikan yang bersih bukan berarti kita berhenti menghargai jasa mereka. Justru dengan menolak segala bentuk gratifikasi, kita sedang menunjukkan penghargaan yang paling tulus yaitu dengan membiarkan mereka bekerja secara profesional dan bebas dari pengaruh yang bisa merugikan murid dan sistem pendidikan itu sendiri.[]
Penulis: Ramadhan Al Faruq, Alumni IAIN Ar-Raniry dan juga Anggota Kaukus Peduli Integritas Pendidikan Aceh.