News  

Mirip Pola Proyek Wastafel, Disdik Aceh Anggarkan Rp 7 Miliar untuk Pengadaan Tong Sampah Sekolah

Marthunis (foto: dok Disdik Aceh)

KabarAktual.id – Kebijakan Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh kembali menjadi sorotan setelah menggelontorkan dana Rp 7 miliar untuk pengadaan tong sampah sekolah. Mirip pola proyek wastafel beberapa tahun lalu, tong sampah jenis HDPE itu akan dibagikan untuk SMA Negeri di delapan kabupaten/kota.

Seperti diketahui, saat pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, Disdik Aceh mengadakan sarana wastafel untuk SMA, SMK, dan SLB seluruh Aceh. Dalam pelaksanaan proyek tersebut muncul banyak masalah di lapangan, sehingga Kadisdik Aceh waktu itu dan dua stafnya terjerat dan divonis bersalah sehingga harus menjalani hukuman penjara.

Kebijakan Disdik Aceh membeli tong sampah itu memicu kritik keras di tengah sorotan rendahnya mutu pendidikan di Aceh. Langkah itu dinilai tidak relevan dan mencerminkan kegagalan skala prioritas di bawah kepemimpinan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis.

Pengamat pendidikan, Dr Samsuardi, menyebut kebijakan Marthunis sebagai ironi yang menyakitkan di tengah banyaknya persoalan mendasar di sektor pendidikan Aceh. Ia mempertanyakan urgensi pengadaan fasilitas pendukung yang seharusnya bisa dipenuhi oleh sekolah melalui dana operasional.

Menurut Dr Sam — panggilan akrabnya — keputusan itu sama sekali tidak menjawab masalah inti pendidikan Aceh. “Literasi dan numerasi siswa rendah, kualitas pengajaran masih lemah, pelatihan guru minim—tapi yang dipilih malah proyek tong sampah,” kata ujar akademisi yang memimpin Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A) itu, Kamis (24/4/2025).

Ia menuding kebijakan itu lahir dari pendekatan birokrasi yang tidak memahami kebutuhan riil satuan pendidikan. Apa yang dilakukan itu memperlihatkan kenyataan bahwa Martunis gagal dalam menyusun skala prioritas kebijakan.

Dikatakan, kebutuhan tong sampah yang tidak butuh analisis ilmiah tingkat tinggi bisa dibeli sekolah dengan memanfaatkan dana BOS. “Mengapa harus intervensi provinsi, dengan nilai fantastis dan jangkauan terbatas pula? Ini bukan hanya tidak sensitif, tapi juga mencurigakan,” lanjutnya.

Proyek ini, disebu, hanya menyasar delapan dari 23 kabupaten/kota di Aceh, sehingga menimbulkan pertanyaan serius tentang kesetaraan akses dan dasar analisis kebijakan. Dr. Sam menyebut proyek ini lebih mirip upaya “serapan anggaran” ketimbang jawaban atas kebutuhan pendidikan.

“Jika memang darurat, kenapa tidak semua daerah dapat? Dan kalau tidak darurat, kenapa anggarannya sebesar itu? Logikanya tidak nyambung,” katanya.

Ia juga meminta Dinas Pendidikan Aceh, khususnya Marthunis, untuk membuka seluruh dokumen perencanaan dan pengadaan proyek secara transparan. Penggunaan anggaran publik tanpa akuntabilitas, menurutnya, adalah bentuk pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat.

Akademisi ini meminta Kadisdik Marthunis harus tampil secara gentleman dan bertanggung jawab dengan tidak bersembunyi di balik jargon pembangunan. “Publik berhak tahu. Jika tidak urgensi, maka ini adalah proyek pemborosan yang harus diusut,” tegasnya.

Dr. Sam menutup pernyataannya dengan menyebut bahwa pendidikan Aceh tidak akan pernah maju jika kebijakannya terus berputar pada proyek simbolik.

Menurut dia, yang dibutuhkan adalah intervensi pada substansi: guru yang kompeten, pelatihan bermutu, bahan ajar yang layak, dan manajemen sekolah yang profesional. “Bukan proyek tong sampah yang hanya memperindah laporan keuangan,” tutupnya.

Kadisdik Aceh Marthunis telah dimintai tanggapannya secara tertulis melalui aplikasi WhatsApp, Kamis (24/4/2025). Tapi, hingga artikel ini tayang, pejabat tersebut belum memberikan respon atas pertanyaan konfirmasi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *