KabarAktual.id – Gebrakan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, turun langsung dalam operasi penggerebekan tempat maksiat diapresiasi berbagai pihak. Anggota DPR RI asal Aceh, Ghufran Zainal Abidin, juga menyatakan hal yang sama.
Lewat pernyataan tertulisnya, politisi PKS ini mengatakan, semua pihak harus obyektif menilai bahwa langkah Wali Kota Banda Aceh ini patut didukung. “Sehingga masyarakat tidak menganggap syariat Islam hanya simbol,” ujarnya, Minggu (20/4/2025).
Ghufran menerangkan, para pelaku pelanggaran syariat Islam yang terjaring operasi oleh Wali Kota Banda Aceh selama beberapa hari terakhir mayoritas remaja. Fakta itu, kata dia, menjelaskan bahwa kondisi moral generasi muda Aceh akhir-akhir ini semakin memprihatinkan.
Menurut Ghufran, penegakan syariat tidak cukup hanya sebatas penangkapan para pelaku, tetapi juga harus dilanjutkan hingga tahap pemberian sanksi. “Wali Kota perlu tegas mencabut izin usaha yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran syariat,” tandasnya.
Berdasarkan hal itu, sambungnya, penting dilakukan penegakan hukum yang dibarengi dengan pendekatan preventif seperti edukasi di sekolah-sekolah, program perbaikan akhlak, dan penutupan tempat-tempat yang rawan pelanggaran.
Yang juga sangat penting, kata Ghufran, Pemerintah juga perlu membentuk tempat pembinaan moral bagi pelanggar syariat agar tidak mengulangi kesalahan. “Banyak yang kembali melanggar karena ketidaktahuan atau faktor ekonomi,” katanya.
Dia tidak menampik, bahwa apa yang dilakukan Illiza memberikan dampak besar bagi penegakan syariat Islam di Banda Aceh. “Ini adalah aksi yang sangat patut untuk diapresiasi,” lanjutnya.
Dia menambahkan, penegakan syariat Islam juga harus didukung penuh oleh semua stakholder dan masyarakat Banda Aceh. Bahkan, juga dibutuhkan komitmen yang sama dari seluruh kepala daerah di Aceh. Karena sambungnya, “Dalam konteks penegakan hukum, pemerintah memiliki kekuasaan untuk memastikan hukum terlaksana secara efektif,” ujar Ghufran.
Secara yuridis, menurut dia, Aceh pynya dasar hukum penerapan syariat Islam dan Qanun Jinayat di Aceh sangat kuat. Di antaranya, Pasal 3 ayat (2) UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menyatakan bahwa salah satu keistimewaan Aceh adalah dalam penyelenggaraan kehidupan beragama.
Begitu pula dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 125 ayat (1) menyebutkan bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh mencakup akidah, syariah, dan akhlak, yang kemudian diperkuat dengan qanun sebagai aturan pelaksanaannya. “Apalagi Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi harus menjadi cerminan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh,” demikian Ghufran.[]