Opini  

SMA Garuda, Jalan Panjang Mengabadikan Kastanisasi Anak Bangsa?

Avatar photo
Ilustrasi kondisi sekolah di desa (foto: inet)

Pemerintahan Prabowo Subianto meluncurkan Program Sekolah Unggulan Garuda sebagai bagian dari strategi mempersiapkan generasi “andalan” menuju Indonesia Emas 2045. Sekolah elite ini dirancang menjadi tempat penggemblengan SDM terbaik.

Target output lulusannya kampus-kampus ternama di dunia. Proses seleksinya ketat, menggunakan kurikulum internasional, serta didukung guru-guru pilihan, termasuk tenaga pendidik asing. Itu menjadi ciri khas sekolah ini.

Kontras dengan program itu, di sisi lain, Prabowo juga menggulirkan Program Sekolah Rakyat yang ditujukan untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin dan sangat miskin, mereka yang selama ini nyaris terpinggirkan dari sistem pendidikan. Dengan demikian, kini terbentuk tiga kategori sekolah di Indonesia: sekolah rakyat, sekolah reguler, dan sekolah unggulan.

Padahal, pendidikan sejatinya merupakan hak dasar setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak tersebut secara adil dan merata, tanpa diskriminasi. Sayangnya, Prabowo justru memperlebar kesenjangan sosial. Salah satu contohnya adalah pendirian Sekolah Unggulan Garuda.

Alih-alih memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh, pemerintah justru menciptakan kastanisasi pendidikan. Sekolah-sekolah dipisahkan berdasarkan kelas sosial, bukan kebutuhan pedagogis. Dua puluh sekolah baru dan dua puluh sekolah unggulan hasil pengembangan akan mendapatkan fasilitas eksklusif: guru-guru terbaik, kurikulum istimewa, dan sumber daya berlimpah. Sementara itu, ribuan sekolah reguler di pelosok negeri tetap bergelut dengan kekurangan fasilitas, tenaga pendidik yang tak memadai, dan sistem belajar yang jauh dari standar ideal.

Segregasi pendidikan semacam ini hanya akan memperkuat piramida sosial yang timpang. Anak-anak dari kelompok elite akan terus mendapatkan akses terhadap pendidikan berkualitas tinggi, membuka jalan menuju posisi-posisi strategis di masa depan.

Sebaliknya, anak-anak dari kelas bawah tetap terjebak dalam lingkaran keterbatasan, dengan akses dan kesempatan yang amat terbatas. Ironisnya, lulusan sekolah unggulan ini nantinya akan mengelola sistem yang kembali mengeksploitasi mereka yang berasal dari sekolah reguler dan sekolah rakyat. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang dibangun saat ini dengan sadar menciptakan struktur eksploitasi yang berulang.

Jika ditilik secara lebih jeli maka Keputusan pemerimtah untuk menggunakan kurikulum internasional di Sekolah Unggulan Garuda secara tidak langsung bisa dimaknai sebagai pengakuan terselubung bahwa selama ini pemerintah gagal dalam mengelola pendidikan, kurikulum nasional belum mampu bersaing di tingkat global. Namun, alih-alih mereformasi kurikulum nasional secara menyeluruh agar kompetitif dan relevan, pemerintah justru memilih jalan pintas menciptakan sekolah eksklusif dengan standar berbeda.

Bukankah kurikulum di Indonesia terus berubah? Benar, tapi Sayangnya, reformasi kurikulum di Indonesia selama ini lebih terkesan hanya menjadi proyek jangka pendek yang kerap berganti seiring pergantian menteri, tanpa evaluasi menyeluruh maupun kesinambungan. Akibatnya, guru dan siswa kerap menjadi korban eksperimen pendidikan.

Lalu apa? Yang lebih menjengkelkan, pendidikan kini semakin dipandang sebagai komoditas. Alih-alih menjadi alat pencerdasan bangsa, ia justru menjadi ladang bisnis bagi segelintir elite. Dari proyek pengadaan buku hingga pelatihan guru, dari pengadaan infrastruktur hingga kerja sama internasional, semua berpotensi menjadi ruang transaksi yang menguntungkan sebagian kecil pihak.

Bahkan Sekolah unggulan yang digagas pemerintah bisa menjadi ancaman nyata bagi bisnis pendidikan lain seperti bimbingan belajar yang diadakan oleh swasta, jika selama ini mereka yang ingin tembus ke perguruan tinggi ternama dunia digembleng oleh bimbel, maka kini pemerintah ikut “bersaing” dengan menghadirkan program optimalisasi dan akselerasi tersebut lewat program sekolah Unggul Garuda, dan sialnya itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir rakyat Indonesia yang terpilih untuk sekolah di sana.

Seharusnya jika pemerintah sungguh-sungguh ingin meningkatkan kualitas pendidikan nasional, maka solusinya bukanlah menciptakan eksklusivitas, melainkan pemerataan. Setiap sekolah di Indonesia seharusnya memiliki standar yang sama baiknya dengan sekolah Unggul Garuda yang sedang diwacanakan tersebut, dari Sabang hingga Merauke. Bukankah semua rakyat Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan dengan kualitas terbaik?

Lalu apakah kita menolak perbaikan di dunia pendidikan? Tentu tidak, tapi langkah bijaknya jika memang pemerintah benar-benar serius maka Investasi di dunia pendidikan harus difokuskan pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru lokal melalui pelatihan intensif, perbaikan fasilitas pendidikan, dan penyusunan kurikulum yang adaptif terhadap kebutuhan zaman. Tidak seharusnya negara mengimpor guru asing yang tentunya dengan gaji fantastis sementara guru-guru dalam negeri masih berjuang dengan kesejahteraan yang minim.

Kebijakan pendidikan harus dibangun di atas prinsip keadilan, bukan kompetisi berbasis kelas. Setiap anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Jika negara ingin membangun bangsa yang cerdas dan mandiri, maka setiap kebijakan harus diarahkan untuk meratakan kualitas pendidikan, bukan memusatkannya hanya pada segelintir sekolah unggulan.

Lalu apa? Sayangnya, masih banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan adalah hak yang melekat sebagai warga negara, bukan untuk golongan tertentu saja dan sama sekali juga bukan merupakan hadiah dari pemerintah untuk rakyat yang layak disyukuri dengan pujian membabi buta. Jika selama ini ada di antara kita yang tidak mendapatkannya seharusnya kita bisa menggugat dan menuntut pemerintah untuk memenuhi hak kita dan juga kewajiban mereka.

Dalam konteks kesadaran publik untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Freire seorang filosof pendidikan terkemuka asal Brazil menekankan bahwa rakyat harus sadar bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilese.

Tanpa kesadaran ini, mereka akan terus merasa bahwa akses pendidikan berkualitas hanyalah milik “orang pintar” atau “anak orang kaya”.

Saat kebijakan pendidikan semakin diskriminatif, kesadaran publik menjadi kunci utama untuk menolak dan melawannya. Jika rakyat terus diam, maka kita akan selamanya menjadi objek dari kebijakan yang hanya menguntungkan mereka yang berkuasa.

Sudah saatnya kita bersuara, menuntut keadilan, dan memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki hak yang sama atas pendidikan berkualitas.[]

Penulis: alumni IAIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *