Keranjingan Mutasi

Ilustrasi (foto: Ist)

BIROKRASI tidak lagi menjadi wilayah netral yang terbebas dari permainan politik. Personil di dalamnya (baca: ASN) sudah dijadikan obyek, bahkan kuda tunggangan utk memuluskan jalan politik penguasa. Khusus di Aceh, gejala ini sangat kontras terasa.

Oknum-oknum ASN yang berhaluan pragmatisme, tidak malu-malu melibatkan diri ke dalam politik praktis. Mereka terang-terangan mendukung kandidat calon kepala daerah yang ikut kontestasi. 

Salah satu contoh yang sudah sering kepala daerah hobi mutasi,mutasi pejabatdiangkat media adalah aksi seorang staf ahli gubernur Aceh yang terang-terangan berkampanye. Kenapa bisa demikian dan untuk apa? 

Apa yang menjadi kecendrungan para ASN terlibat politik praktis tentu saja bukan untuk sebuah tujuan profesional. Mereka sedang bekerja untuk kepentingan pragmatis semata. Biar mendapat posisi setelah calon yang didukung nantinya menang.

Begitulah yang terjadi. Tidak di level kabupaten/kota, tapi juga provinsi. Sama saja.

Makanya tidak aneh, nanti, setelah kepala daerah terpilih mulai menduduki tahta kekuasaan, yang pertama dilakukan oleh penguasa baru adalah mutasi pejabat. Itu tidak lain sebabnya karena para timses harus segera dibalas jasanya dengan cara memberi mereka jabatan di pemerintahan. 

Jadi, walaupun nanti dalam tahapan pelaksanaan pengisian jabatan itu ada istilah Pansel JPT, itu hanya untuk gagah-gagahan saja. Juga karena regulasi saat ini mengharuskannya. Jadi, mau tak mau harus diikuti, dilakoni. Padahal semua hanya boong-boongan

Jadi, tidak usah menghubungkan apa yg dilakukan itu dengan teori birokrasi yang dibahas dalam buku terkenal Max Weber. Sama sekali tidak akan connect. Karena penguasa harus lebih mementingkan koneknya kepentingan kelompok mereka, yaitu kepentingan balas jasa.

Lalu, apakah mereka, yang dilantik itu akan bekerja untuk rakyat? Juga sudah pasti tidak. Meski dalam pidato dimana mana mereka mengucapkan kata-kata indah, itu hanya sebagai untaian kata untuk memperindah retorika saja. Tidak lebih.

Mereka sudah punya takaran dalam bekerja. Bagaimana agar dalam target waktu tertentu bisa mencapai target income dalam jumlah tertentu pula. 

Bagaimana dengan nasib rakyat yang telah memilih dulu? Ohh … rakyat jangan macam-macam. Jangan banyak menuntut. Mereka telah dibayar lunas di masa kampanye pilkada. Telah dibayar dengan janji, sembako, atau amplop serangan fajar. Lunas. Jadi, tidak ada utang lagi!

Berikutnya, pengisian jabatan akan dijadikan lahan untuk mencari cuan. Meski sulit untuk dibuktikan, pelantikan pejabat eselon sudah menjadi “mainan” yang mengasyikkan para penguasa. Ada kesan, belum sah rasanya disebut berkuasa kalau belum melakukan pelantikan pejabat. Akhirnya, mutasi menimbulkan keranjingan bagi mereka.

Padahal inti dari birokrasi adalah pelayanan. Para ASN adalah pekerja yang melayani publik dalam berbagai urusan di pemerintahan. Lalu, kenapa posisi mereka jadi bahan transaksional? Di sini tidak masuk akalnya jika dikaitkan dengan teori birokrasi.

Yang lebih aneh lagi, keranjingan mutasi itu menjangkiti pula para kepala daerah yang berstatus Pj. Seperi rumor yang menyebut Pj Wali Kota Banda Aceh Almuniza Kamal akan membentuk Pansel JPT Pratama. Kenapa mereka juga mengincar dan tergoda untuk melakukan mutasi pejabat? Apakah ada cuan di sana? 

Kemudian, ada kesan kontradiktif. Oknum Pj kepala daerah sangat berminat melakukan mutasi untuk jabatan tertentu dan mengabaikan untuk yang lainnya.

Sebagai contoh, puluhan kepala SMA/SMA di Aceh yang kosong bertahun-tahun. Tidak tertarik sedikit pun bagi Pj gubernur untuk melakukan pengisian. Padahal, itu berhubungan langsung dengan soal mutu pendidikan. Tapi, sama sekali tidak menarik bagi mereka. Entah kenapa?[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *