ALHUDRI boleh jadi sangat digdaya. Staf ahli gubernur Aceh yang telah membatalkan diri maju pada pilkada Aceh Tengah itu telah mempecundangi partai pendukungnya. Dia juga telah “menipu” rakyat daerah itu dengan berpura-pura menjadi bakal calon bupati.
Pembatalan mendadak yang telah membuat partai pendukungnya marah, itu memang hak asasi. Karena prosesnya belum sampai pada tahap penetapan calon. Jadi, secara prosedural memang tidak ada aturan yang dilanggar.
Selain permasalahan administratif yang telah menyebabkan para pimpinan partai pendukung merasa “dikadalin” oleh Alhudri, ada yang lebih mendasar lagi dalam konteks ini.
Sebab, bicara tentang pencalonan seseorang untuk menjadi pemimpin, tidak cuma persoalan prosedural atau administratif semata. Ini juga terkait dengan hati nurani dan moral.
Mereka, rakyat yang mengantarkan pasangan Alhudri-Alaidin Abu Abbas mendaftarkan diri ke KIP Aceh Tengah, beberapa waktu lalu, melakukan itu dengan ikhlas. Mereka tidak mengharapkan imbalan sembako atau mendapatkan kedudukan. Mereka ingin menitipkan harapan, agar Aceh Tengah lebih baik ke depan bersama calon pemimpin yang sedang mereka antarkan. Ini adalah soal moral.
Kalaulah para politisi dan rakyat mengetahui dari awal, bahwa Alhudri memang tidak serius mengikuti pilkada pasti mereka tak akan memberikan dukungan. Pasti mereka akan mencari calon lain.
Pengunduran diri tanpa alasan yang kuat tidak hanya mengkhianati partai pendukung dan rakyat, tapi juga menyisakan misteri. Apalagi karena pertimbangan yang dikemukakan hanya sebatas ingin tetap menjadi ASN. Bukankah ketika menyatakan diri maju sebelumnya, dia memang masih berstatus ASN?
Alasan itu terasa sangat mengada-ada.
Selama terlibat aktif dalam kerja politik proses pencalonan bupati, Alhudri 100% masih pegawai negeri. Sebab, hingga dia membatalkan diri ikut pilkada, dia belum mengajukan usul pensiun. Itu artinya, Alhudri meninggalkan tugas utamanya sebagai ASN untuk urusan politik “pura-pura” ikut pilkada.
Menjadi pertanyaan, bagaimana status Alhudri ketika dia meninggalkan tugas ASN untuk ikut pilkada boong-boongan? Apakah dia cuti atau pergi begitu saja tanpa status apa-apa? Jika meninggalkan tugas tanpa keterangan, berarti, Alhudri melakukan tindakan indisipliner. Bisa jadi, dia melanggar aturan tentang disiplin pegawai negeri.
Kalau benar seperti itu, berarti Pemerintah Aceh tidak menegakkan aturan. Ada pejabat eselon II yang dibayar gaji dan tunjungan puluhan juta, tapi tidak bekerja.
Sikap dan perilaku seperti itu tentu tidak adil di mata rakyat. Tidak mencerminkan budaya birokrasi modern, tapi barbar ala preman terminal. Mereka susah payah mencari nafkah dan membayar pajak untuk menggaji pejabat tapi kinerja aparatur pemerintahnya seperti itu.
Setelah itu, rakyat kena tipu lagi karena ada oknum pejabat yang berpura-pura maju pilkada.
Kita mesti mempertanyakan sikap Pj gubernur Aceh, Safrizal, yang orang Kemendagri itu. Apakah bisa seorang ASN yang pejabat eselon II berlaku indisipliner tanpa ada sanksi apa-apa? Oknum pejabat tersebut meninggalkan tugas dengan alasan pura-pura ikut pilkada yang merupakan kegiatan politik praktis?
Kata anda, ASN dan pejabat harus netral dalam pilkada? Bagaimana dengan oknum pejabat yang menduduki jabatan staf ahli bisa semau gue? Apakah yang Anda katakan itu hanya lip service dan pura-pura belaka?
Selain meninggalkan tugas untuk alasan pilkada, Alhudri juga melakukan pelanggaran berkampanye untuk salah satu bakal calon gubernur lainnya. Ini juga pelanggaran netralitas seorang ASN.
Baru-baru ini lagi. Tepatnya pada 31Agustus 2024, Alhudri kembali memperlihatkan arogansinya. Dengan mengenakan seragam sebuah partai politik, dia menghadiri acara apel bersama di Jakarta. Juga masih dalam posisi belum melepaskan status ASN-nya.
Tindak-tanduk Staf Ahli Gubernur Aceh yang satu ini terkesan sangat super power. Dia bebas melakukan apa saja. Boleh meninggalkan tugas dan terlibat politik praktis secara terang-terangan. Begitu tidak berdayanya sebuah aturan di depan Alhudri.
Jika model-model begini pejabat yang diandalkan, maka wajar Aceh tidak akan maju-maju, rakyatnya semakin tertindas kemiskinan.
Mana mungkin maju, kalau pejabat yang diberi tanggung jawab mengurus pemerintahan tidak bekerja. Malah meninggalkan tugas untuk bergabung dengan partai politik. Alamakjang!