TIBA-tiba Aceh dihebohkan dengan isu Kontes Miss Waria atau pemilihan ratu bencong. Bahasa kerennya transgender.
Acara bertajuk Kontes Miss Beauty Star Indonesia 2024 itu tidak berlangsung di Aceh, tapi jauh di sana, di Grand Ballroom Orchardz Hotel Jakarta.
Juga sudah lumayan lama. Kabarnya, dihelat pada 4 Agustus 2024. Hebohnya baru sekarang setelah video penobatan ratu bencong viral di media sosial. Kalau tidak, pasti aman-aman saja.
Banyak pihak yang merasa sangat gerah dan kehilangan harga diri akibat nama Aceh dibawa-bawa. Seorang waria yang disebut mewakili Aceh dinyatakan pemenang kontes itu. Kecaman pun datang dari mana-mana.
Pemerintah daerah menyatakan tidak tahu-menahu soal kegiatan tersebut. Berbagai elemen lainnya pun tidak kalah seru. Mereka meminta agar peserta dan panitia pelaksana kegiatan diusut karena dinilai telah mencoreng nama Aceh.
Dalam konteks itu terkesan, seakan-akan bencong tidak boleh ada di Aceh. Makanya, kaum waria tidak boleh membawa-bawa nama daerah ini. Walaupun, faktanya, hari-hari mereka ada di lingkungan masyarakat, beraktivitas, dan menjalankan bisnis secara normal-normal saja. Kenapa tidak ada yang keberatan dengan keberadaan mereka?
Setelah kasus ini viral, banyak yang mulai mencuri “panggung” menyikapi peristiwa kontes waria sesuai porsi sendiri-sendiri. Kalau diamati, sikap latah itu terkesan lagee trom asap (ibarat menendang angin).
Kita bisa memahami, bahwa sikap protes itu pasti datang dari semangat keacehan yang suci mulia. Penobatan Aceh sebagai juara pada kontes waria dinilai sebagai penghinaan terhadap jati diri daerah yang dijuluki Serambi Mekkah.
Amarah bisa bertambah-tambah ketika event ini dimaknai dengan tafsiran liar, dengan penerawangan kemana-mana. Misalnya, seakan-akan Aceh sangat berhasil melakukan program pembinaan dan pengembangan waria. Sebab, prestasi juara — seperti dalam bidang olahraga — pasti dihasilkan dari proses pembinaan yang berkesinambungan.
Apakah Aceh punya lembaga yang melatih waria, sehingga dutanya berhasil meraih juara? Pernyataan seperti itu tentu sangat menjijikkan bagi sebagian besar rakyat Aceh. Tapi, mau apa lagi?
Hadirnya wakil Aceh pada kontes waria, itu adalah sebuah konsekuensi. Sebuah proses kausalitas alias sebab akibat. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api.
Di Aceh memang tidak ada lembaga pembinaan waria. Tapi, poinnya bukan di situ.
Persoalan waria hanya sebuah partikel kecil dari segudang masalah sosial yang berjibun yang terjadi di depan mata hari ini. Tapi semua abai. Elit sibuk cakar-cakaran berebut kekuasaan. Anggota dewan tak punya waktu karena harus fokus mengawal anggaran pokir.
Substansi permasalahan yang dihadapi Aceh adalah pelemahan pada implementasi syariat Islam. Seperti kata Ustadz Masrul Aidi, penerapan konsep syariat Islam di Aceh tidak didukung visi dan misi yang jelas. Tidak aplikatif, sehingga implementasi di lapangan cenderung salah kaprah.
Masalah bukan pada syariat Islamnya, tetapi penerapannya yang gagal. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT dengan satu visi, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Sedangkan misi yang dibawa Rasulullah adalah memperbaiki akhlak.
Banyak yang merasa kebakaran jenggot akibat kontes waria, tapi pelanggaran syariat Islam di depan mata disikapi biasa-biasa saja. Siapa yang mampu mengawasi pemerintahan yang bermental korup dan nepotisme?
Baru-baru ini, sebagai contoh, publik mengkritisi calon pejabat yang diduga tidak memenuhi syarat dan berbau nepotisme. Tapi, Pj gubernur tak bergeming. Tetap saja mengusulkannya. Apakah perilaku korup bukan sebuah pelanggaran syariat Islam?
Bukan hanya waria, harusnya, yang mencoreng harga diri. Sikap dan perilaku korup dari elit kita dan wakil-wakil yang sudah kita pilih untuk duduk di DPRA itu lebih utama. Apakah mereka sudah memberi teladan, bekerja secara islami tanpa mengejar-ngejar uang haram dari mengelola ijon pokir, misalnya?
Ah, jangan-jangan kita suka bermuka dua. Jangan-jangan kita hipokrit. Karena itu, tak perlu mencuri panggung waria.[]