SE Mendagri Menyasar Apa?

TAK ada angin tak ada hujan, Mendagri Tito Karnavian tiba-tiba mengeluarkan surat edaran nomor 821/5492/SJ tanggal 14 September 2022 untuk mengatur mutasi jabatan ASN di daerah. Seakan-akan sedang terjadi sebuah situasi darurat. Seakan-akan ada yang harus dimutasi segera, sedang terjadi kekacauan birokrasi(?)

Kebijakan Tito Karnavian ini memunculkan tanya: apa yang hendak disasar?

Seperti diketahui, banyak daerah kini dipimpin oleh penjabat (Pj) gubernur, bupati atau wali kota. Mereka bukan pejabat definitif yang dipilih rakyat. Dan, sebagian besar figur yang mengisi posisi Pj itu dikirim dari Jakarta. Mereka “orang-orang” Pusat.

Di tengah membanjirnya “utusan” Pusat di daerah yang memegang posisi penting sebagai penguasa — tanpa susah-susah bertarung di pilkada — maka kebijakan Mendagri yang turun sangat tiba-tiba itu menimbulkan banyak dugaan. Kenapa tiba-tiba Pusat sangat berhasrat mengatur hal-hal yang sangat detail di daerah?

Padahal, dalam kondisi pemerintahan transisi seperti saat ini, birokrasi justeru harusnya makin diperkuat. Bukan malah memberi kekuasaan yang kebablasan kepada Pj, Plt, bahkan Pjs untuk berbuat sesuka hati.

Mestinya, birokrasi yang dipimpin oleh pemerintahan transisi dijaga lebih ketat agar tidak dengan seenaknya melahirkan kebijakan yang kontraproduktif, misalnya, mengabaikan ketentuan merit system dalam mutasi ASN. Birokrasi harus dipelihara agar tetap sehat, meski di bawah pemerintahan darurat.

Bagaimanapun juga SE Mendagri itu pantas menimbulkan tanda tanya. Sebab, dalam situasi pemerintahan definitif saja, sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam mutasi pejabat.

Dalam banyak kasus di daerah, gubernur atau bupati/wali kota acap melakukan mutasi dengan mengabaikan aturan. Birokrasi sering ditarik-tarik ke ranah politik. Sejumlah ASN dipromosi karena pertimbangan terlibat sebagai tim sukses atau alasan-alasan di luar profesionalisme lainnya.

Dalam situasi seperti itu, birokrasi tidak lagi menjadi pelayan masyarakat. Bukan lagi fasilitator yang berfungsi menggerakkan roda perekonomian, atau berpikir soal kesejahteraan rakyat, tapi telah menjadi alat kekuasaan. Akibatnya mutasi tidak lagi mengindahkan aturan.

Dalam situasi pemerintahan normal saja bisa terjadi kanibalisme dalam mutasi pejabat, apa lagi ketika penguasa transisi diberi “senjata” sangat ampuh bernama SE Mendagri. Kita khawatir, maksud baik Mendagri itu disalahgunakan oleh Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah.

Dengan jumlah daerah yang dipimpin pejabat sementara begitu banyak, pasti Mendagri tidak punya alat canggih untuk bisa memantau semuanya hingga ke pelosok-pelosok. Akan sangat menyedihkan, jika seandainya nanti, kebebasan yang diberikan itu akan menimbulkan korban hanya gara-gara hal sepele.

Jangan lupa, pejabat kepala daerah sementara itu manusia biasa yang juga punya emosi dan perasaan. Mereka juga rentan tergoda oleh berbagai hal. Karena itu sangat berbahaya jika mereka tidak diikat dengan aturan-aturan yang bisa menyelamatkan semuanya, bukan hanya kepentingan segelintir pihak, seperti target-target kecil yang tidak diketahui orang banyak.

Jangan sampai kebijakan SE itu ibarat melepaskan ribuan peluru, hanya untuk menyasar satu tujuan tertentu. Kasihan.

Begitu besar energi yang terbuang, hanya untuk menjaring sebuah hasrat tertentu. Semoga dugaan ini tidak benar.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *