PERGURUAN tinggi besar seharusnya steril dari manuver politik, namun kondisi itu tak terlihat di Universitas Sumatera Utara (USU). Perhatian publik justru tertuju pada keabsahan kepemimpinan rektor, bukan pada capaian akademik kampus.
Pemanggilan Rektor Muryanto Amin oleh KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan senilai Rp231,8 miliar menempatkan USU dalam pusaran kontroversi yang mengancam kredibilitas institusi. Ketidakhadirannya dalam panggilan pemeriksaan dan kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan memperkuat kesan bahwa ini bukan lagi persoalan pribadi, melainkan masalah tata kelola kampus.
Dalam konsep governance perguruan tinggi, seorang rektor harus bebas dari konflik kepentingan, persoalan hukum aktif, dan menjadi teladan moral. Ketika seorang pemimpin kampus berada dalam bayang-bayang proses hukum, institusi ikut memikul risiko reputasi yang serius. USU menghadapi situasi itu: rektor dipanggil KPK, pemilihan rektor tetap dikebut meski dinamika hukum belum selesai. Diamnya institusi dinilai sebagai abainya akuntabilitas.
Baca juga: Muryanto; dari Kampus ke Circle Korupsi
Reputasi universitas adalah aset konkret yang menentukan kepercayaan mahasiswa, orang tua, mitra industri, dan lembaga donor. Pelantikan rektor dalam keadaan kontroversial menjadi titik rawan reputasi—bukan karena adanya vonis hukum, tetapi karena institusi memilih mengabaikan risiko. Prinsip dasar governance menegaskan bahwa tindakan pencegahan diperlukan jauh sebelum putusan pengadilan dijatuhkan. Di sinilah letak kelemahan USU: bergerak seolah tak ada badai, padahal ancaman reputasi telah nyata.
Etika akademik menuntut lebih daripada legalitas. Plagiarisme, kedekatan dengan aktor politik, dan keterlibatan dalam jaringan kekuasaan sudah cukup untuk merusak posisi moral seorang pemimpin kampus. Independensi akademik dan jarak dari politik adalah fondasi utama universitas; namun narasi yang muncul di USU justru sebaliknya, kampus terlihat terseret ke orbit kekuasaan.
Dari perspektif hukum, pelantikan rektor bukan sekadar urusan internal. UU Pendidikan Tinggi mewajibkan rektor memiliki integritas dan bebas dari masalah hukum yang dapat merusak martabat institusi. Permendikbudristek mengenai tata cara pemilihan rektor juga menegaskan larangan bagi calon yang tengah menghadapi proses hukum yang berpotensi menurunkan kredibilitas kampus. Karena itu, percepatan pemilihan saat proses hukum masih berlangsung menjadi pertanyaan serius terhadap tanggung jawab moral dan akuntabilitas MWA serta senat akademik. Ketika universitas mengabaikan asas kehati-hatian, ia merelakan reputasi institusi untuk dipertaruhkan.
Baca juga: Diwarnai Isu Calon Boneka, Prof Muryanto Raih Suara Terbanyak Pemilihan Rektor USU
Kepemimpinan yang berada dalam sorotan hukum akan tercekik oleh beban ganda: mengurus kampus sekaligus membela diri. Energi yang seharusnya untuk pengembangan akademik berubah menjadi manajemen krisis. Mitra riset pun berpotensi menjauh ketika integritas pemimpin dipertanyakan. Secara formal mungkin sah, tetapi secara moral dan simbolik legitimasi rektor melemah.
Menunda pelantikan bukan bentuk kelemahan, tetapi langkah proteksi institusi. Sebaliknya, melanjutkan proses di tengah kontroversi dapat menimbulkan kerusakan reputasi yang dampaknya berlapis; menurunnya minat mitra industri, terhambatnya kolaborasi riset, merosotnya kualitas calon mahasiswa, hingga melemahnya daya saing akademik. Universitas besar seperti USU seharusnya memberi pesan bahwa integritas adalah syarat mutlak, bukan opsi.
Kasus USU bukan sekadar persoalan satu nama. Ia adalah cermin problem tata kelola universitas di Indonesia ketika kalkulasi politik menutupi akal sehat akademik. Pertanyaannya sederhana: apakah USU memilih mempertahankan reputasi kampus atau tunduk pada aliansi kekuasaan? Keputusan ini bukan untuk lima tahun masa jabatan rektor saja, tetapi untuk dua dekade kualitas lulusan, jejaring riset, serta kepercayaan publik.
Jika USU ingin kembali ke jalur ilmiah dan bermartabat, langkah pertama bukan menyusun visi baru, melainkan menyelesaikan persoalan hari ini: mengevaluasi kepemimpinan, membersihkan konflik kepentingan, dan memastikan bahwa proses pemilihan rektor sah tidak hanya secara hukum, tetapi juga bermartabat secara moral. Kampus bukan arena politik. Ia harus menjadi rumah integritas keilmuan yang menjaga tata kelola sebelum badai reputasi merusak fondasinya.[]
:: Ruben Cornelius Siagian adalah seorang penulis dan analis yang fokus pada isu politik, keamanan, dan transformasi digital di Indonesia.












