Opini  

Ironi Guru Aceh; Kesejahteraan hanya Sebatas Wacana

Avatar photo
Ilustrasi beban administrasi guru (foto: dok. Projec Multatuli)

Di sebuah ruang kelas sederhana di Banda Aceh, Aisyah (37), seorang guru SMA negeri, duduk menata lembar-lembar ujian siswanya. Senyumnya ramah, meski di balik wajah itu tersimpan beban yang tak ringan.

Sejak Maret 2025, ia bersama ribuan guru ASN di Aceh belum menerima insentif bulanan yang menjadi hak mereka. “Kadang malu juga sama keluarga. Saya sudah mendidik puluhan anak tiap hari, tapi untuk kebutuhan rumah tangga sendiri harus berutang,” katanya lirih.

Kisah Aisyah hanyalah satu dari banyak suara sunyi para guru di Aceh. Di atas panggung, slogan besar dilantangkan: “GTK Hebat, Indonesia Kuat”.

Baca juga: Ironi Guru Kontrak, Habis Manis Sepah Dibuang

Media sosial pemerintah dipenuhi unggahan apresiasi guru berprestasi, lengkap dengan janji lahirnya pendidik transformatif. Namun di bawah panggung, kenyataan berbeda. Guru justru bergulat dengan realitas pahit: insentif tertunggak, sarana belajar terbatas, dan ruang kelas yang rusak.

Antara Apresiasi dan Realitas

Dinas Pendidikan Aceh gencar mempromosikan program GTK Berprestasi 2025: Aceh Bersiap sebagai wujud penghargaan. Secara nasional, peringatan Hari Guru selalu diwarnai seremoni dan piagam. Namun, bagi banyak guru, apresiasi itu terasa timpang.

Baca juga: Pembayaran Gaji 9000-an Guru Kontrak Disdik Aceh Diduga Melanggar Aturan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) berkali-kali menegaskan bahwa hak finansial guru adalah pondasi utama untuk menjaga profesionalisme. Tanpa itu, motivasi dan konsentrasi mengajar bisa goyah.

Ombudsman RI juga mencatat, keterlambatan tunjangan guru bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. “Kalau hak dasar tidak jelas, bagaimana mungkin guru diminta berinovasi?” kata seorang pengurus FSGI saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Sekolah dengan Fasilitas Terbatas

Di banyak pelosok Aceh, wajah pendidikan tampak lebih getir. Buku cetak pelajaran sulit diperoleh, perpustakaan hanya berisi koleksi usang, laboratorium tidak terpakai karena minim peralatan. Bahkan, ada sekolah yang masih menambal meja dengan papan bekas.

Laporan UNESCO Global Education Monitoring 2022 menekankan bahwa kualitas pembelajaran tidak cukup bertumpu pada guru, tetapi juga pada infrastruktur yang layak. Tanpa fasilitas itu, siswa kehilangan kesempatan emas untuk belajar maksimal.

Seorang kepala sekolah di Aceh Besar mengaku, guru di sekolahnya harus kreatif “mengakali” keterbatasan. “Kami pakai HP pribadi untuk mengakses materi digital. Anak-anak kadang harus menyalin dari layar karena tak ada proyektor,” ujarnya.

Antara Piagam dan Kepastian

Di tengah segala keterbatasan itu, guru tetap hadir sebagai sosok penyemangat. Mereka mengajar, mendengar curhat murid, bahkan sering merogoh kocek sendiri untuk kegiatan sekolah. Karena itu, apresiasi formal semestinya dibarengi dengan kepastian hak.

Tanpa kesejahteraan dan dukungan nyata, penghargaan hanya akan jadi rutinitas tahunan. Guru tidak butuh slogan manis semata, melainkan jaminan hidup layak agar bisa menjalankan tugas mulia tanpa dihantui kekhawatiran.

Aisyah menatap murid-muridnya yang tengah belajar. “Kami tidak menuntut lebih. Hanya ingin hak kami jelas, supaya bisa fokus mendidik,” ucapnya pelan.

Di balik gegap gempita perayaan Hari Guru, suara-suara seperti Aisyah itulah yang seharusnya lebih didengar: suara yang mengingatkan bahwa masa depan pendidikan tak bisa dibangun di atas piagam, melainkan di atas kesejahteraan yang nyata.[]

:: Ramadhan Al Faruk adalah Sekjen Kaukus Peduli Integritas Pendidikan Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *