Opini  

Pungli PPDB; Potret Kegagalan Negara Memenuhi Hak Pendidikan

Avatar photo

TEMUAN Ombudsman terkait dugaan pungli Rp 11 miliar dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Aceh memicu pro dan kontra. Terkesan, ada yang bermain mata. Ujung-ujungnya masyarakat yang jadi korban.

Di satu sisi, aturan pemerintah jelas melarang pengutipan biaya saat penerimaan siswa baru. Tapi, praktik pungutan—dengan dalih “kesepakatan” bersama komite sekolah—tetap terjadi, dibungkus alasan untuk kepentingan siswa, seperti pembelian atribut, sarana penunjang, hingga pengembangan kreativitas. Meski disebut “sumbangan”, pungutan ini kerap memberatkan, terutama bagi orang tua berpenghasilan terbatas, bahkan membuat sebagian siswa batal melanjutkan sekolah.

Padahal, untuk melahirkan sumber daya manusia berkualitas, sekolah membutuhkan sarana, prasarana, dan dukungan anggaran yang memadai. Jika dana BOS terbukti tidak cukup, seharusnya pemerintah daerah menutup kekurangan tersebut secara proporsional, bukan membiarkan sekolah memungut biaya dari siswa.

Baca juga: Dari PPDB ke SPMB, Jalan Reformasi atau Basa Basi?

Permasalahan pungutan ini tidak akan selesai tanpa keterlibatan semua pihak: pemerintah, komite sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Lemahnya pengawasan dan adanya pembiaran sistematis menunjukkan bahwa peringatan resmi dari pemerintah—mulai dari Permendikbud No. 75 Tahun 2016, Peraturan Dirjen Pendidikan Islam No. 64 Tahun 2025, hingga Surat Edaran Gubernur, Bupati serta Walikota, hanya menjadi dokumen tanpa daya paksa.

Baca juga: Pungli TST

Faktanya, sekolah masih beralasan pungutan dibutuhkan untuk menutup biaya operasional, membayar honor guru, atau meningkatkan mutu pendidikan. Pada saat yang lain, datang tekanan yang dikemas dengan embel-embel pemanis — demi nama baik daerah dlsb — sekolah dituntut menanggulangi semua efek finansial yang timbul.

Sebagai contoh, ketika siswa menang olimpiade, sekolah disuruh cari solusi sendiri untuk mobilisasi anak. Padahal mereka dilarang mengutip dana dari masyarakat. Banyak kagi kejadian yang memojokkan sekolah.

Fakta itu sejatinya mencerminkan kegagalan negara memenuhi amanat konstitusi untuk menjamin pendanaan pendidikan dasar. Ketika tanggung jawab negara diabaikan, ruang kosong itu diisi praktik pungutan yang membebani rakyat, merusak kepercayaan publik, dan menurunkan martabat pendidikan.

Masalah ini bukan sekadar soal pungli, melainkan arah kebijakan pendidikan. Jika pemerintah serius menghapus pungutan, ada dua langkah kunci: pengawasan ketat tanpa toleransi, dan alokasi anggaran yang memadai untuk seluruh kebutuhan sekolah. Tanpa itu, larangan pungutan hanya akan menjadi slogan, sementara praktik di lapangan terus menggerogoti integritas pendidikan di Aceh.[]

Dr. Usman Lamreung, M.Si adalah akademisi dan pengamat kebijakan publik, berdomisili di Banda Aceh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *