Opini  

Perankingan di Sekolah, Why Not?

Avatar photo
Ilustrasi (foto: repro)

BELUM lama ini, kita, orang tua, menjalani sebuah rutinitas tahunan yaitu pengambilan rapor berupa laporan hasil belajar anak kita selama satu tahun penuh. Walapun dunia sedang dilanda pandemi Covid-19, namun siswa tetap belajar di rumah.

Pastinya, jika proses pembelajaran berjalan maka akan ada assessment tehadap siswa, ujian. Maka laporan hasil belajar pun harus diterima oleh orang tua.

Namun lagi-lagi, hari bahagia yang ditunggu oleh orang tua ini menjadi hari yang penuh pro kontra bagi sebagian pengamat pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak lain, tidak bukan adalah soal pencantuman rangking di rapor siswa.

Begitu juga dengan euforia orang tua terhadap predikat juara yang didapatkan anaknya. Kegembiraan itu dilampiaskan dengan memamerkan predikat itu dengan berbagai cara, termasuk melalui media sosial.

Apakah ini keliru? 

Penulis akan menjabarkan dengan bahasa yang sangat sederhana. Ada apa dengan perangkingan ini, apakah tidak dibolehkan? Mudah-mudahan dengan bahasa yang sangat sederhana ini, nantinyan pembaca mudah memahami akan problematika saban tahun, yang selalu menjadi momok yang menakutkan tersebut.

Pertama, penulis mau melihat dari sudut pandang orang tua. Sebagai orang yang berada di garda terdepan dalam membimbing anak-anaknya, mengeluarkan uang tidak sedikit, dan memberikan pendidikan di sekolah favorit, itu menjadi idaman setiap kita semua orang tua. Harapannya anak-anak kita menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama. Menjadi anak yang sukses ke depan, mandiri, dan memiliki karakter dibanggakan oleh masyarakat luas.

Nah, ketika anak dititipkan di sekolah, maka semua orang tua menginginkan anaknya bisa lebih dari yang lainnya. Ketika laporan hasil belajar didapatkan, di sinilah kegembiraan luar biasa dari orang tua. Apa yang dikorbankan selama ini terasa tidak sia-sia. Semua akan diwujudkan dengan menceritakan dan memamerkannya.

Keberhasilan anak tidak luput dari keberhasilan pendidikan orang tua dan keluarga. Orang tua selalu berusaha untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak. Pada dasarnya orang tua dan keluarga senantiasa mengharapkan anak mereka menjadi anak yang pandai dan cerdas sehingga mudah meraih impian dan cita-cita.

Apakah ini salah?

Tentu tidak, yang salah adalah ketika orang tua anak berprestasi ini memandang rendah anak yang tidak memiliki rangking. Sebagian kita lupa, kemampuan setiap anak berbeda. Tidak semua unggul dalam bidang akademik.

Kedua, bagaimana — yang katanya — dalam Kurikulum 2013 “haram” mencantumkan perangkingan, dengan alibi semua anak itu istimewa. Nah, ini sebuah aturan yang tumpang-tindih dengan aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari empat jalur masuk ke sekolah negeri. Salah satunya adalah jalur prestasi.

Menurut Mendikbudristek, Nadiem Makarim, Daftar Kumpulan Nilai (DKN) raport sudah dibuat perangkingan sesuai dengan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Jadi, kalau memang perankingan itu dibutuhkan, bisa diminta. Tetapi, sekolah tidak boleh meranking prestasi siswa di dalam raport.

Sebuah pernyataan yang sangat aneh. Di satu sisi, di rapor tidak boleh dibuat perangkingan, namun masuk ke sekolah negeri diminta rangking, jika melewati jalur prestasi. Begitu juga ketika masuk ke Perguruan Tinggi, perankingan di sekolah juga sangat menentukan.

Sebenarnya perangkingan itu apa?

Menurut hemat penulis, perankingan adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh sekolah untuk menjadikan budaya kompetitif sesama siswa. Bagi kita sebagai orang tua, kompetisi hal yang perlu dihindarkan. Orang tua menganggap kompetisi akan memberi tekanan dan stres pada anak. Orang tua berusaha menjauhkan anak dari persaingan. Mereka membentengi anak dari kekecewaan dengan selalu mengatakan “semua anak adalah pemenang”.

Benarkah demikian?

Apakah jika anak tidak pernah merasakan kemenangan atau kekalahan membawa kebaikan untuk diri mereka? Tidak juga. Para ahli tumbuh kembang anak menyebutkan, kompetisi secara sehat bisa memberi dampak positif.

Kondisi seperti ini akan mempersiapkan mereka melalui pengalaman menang dan kalah, mereka tidak akan selalu mendapat apa yang mereka mau kelak. Berkompetisi membantu mereka mengembangkan beberapa kemampuan yang akan berguna ketika mereka dewasa, seperti menunggu dan mengambil waktu giliran, empati, keuletan, dan rasa percaya diri.

Dr. Timothy Gunn, Psy.D, neuropsikolog pediatri pemilik Gunn Psychological Services, Inc. di California Selatan menyebutkan, “Kompetisi membantu anak memahami bahwa tidak harus selalu menjadi yang terbaik atau terpintar untuk menjadi sukses, tetapi kesuksesan akan datang kepada mereka yang bekerja keras dan gigih,”

Anak-anak yang terlibat dalam kompetisi akan mempelajari keterampilan sosial melalui interaksi dengan anak-anak lain, juga belajar soal nilai bekerja keras dan mengembangkan kepercayaan diri. Nah, kompetisi ini sangat penting, bagi tumbuh kembang anak dalam lingkungan masyarakat nantinya.

Dalam sebuah catatan di laman sebuah media online lokal, disebutkan, siswa dalam kelas harus mengedepankan kolaborasi, bukan kompetisi. Lagi-lagi salah kaprah, kompetisi dan kolaborasi dua hal yang saling beriringan, tak bisa dipisahkan. Pada kondisi tertentu seorang anak harus berkolaborasi untuk berkompetisi meraih nilai terbaik. Jadi, masih keliru jika dikatakan kolaborasi lebih penting dari kompetisi.

Mungkin kita sebagai orang tua lupa, dalam keseharian kita akan merasa gembira ketika anak kita lebih menonjol dari anak lainnya. Baik dari segi membaca, menang lomba, pintar menghafal ayat-ayat Alquran, begitu juga jika anak kita bisa menjadi imam. Dengan sikap seperti ini sebenarnya kita telah menanamkan jiwa kompetisi pada anak kita. Begitu juga dengan kurikulum kita, tidak membolehkan perankingan yang bersifat kompetisi. Namun di sisi lain menyediakan berbagai lomba minat dan bakat, saling berkompetisi dengan anak-anak lainnya.

Mengalami kekalahan atau nyaris menang tidak selalu mudah untuk anak-anak, tetapi kita orang tua harus selalu dapat membantu anak berpikir positif tentang kompetisi. Untuk permulaan, bantu anak mendefinisikan keberhasilan dalam kompetisi. Katakan, keberhasilan dalam kompetisi tidak selalu diartikan dengan memenangi piala, tetapi buatlah tujuan tersendiri dan tanamkan dalam benak anak.

Misalnya, anak telah mencapai keberhasilan bila berani tampil di depan umum tanpa rasa malu.
Sungguh aneh ketika “menghalalkan” kompetisi anak maupun siswa kita, namun “mengharamkan” perankingan. Wallahu a’lam bishawab!

  • Penulis adalah seorang guru berdomisili di Aceh Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *