Bumerang Mutasi

Gambar hanya ilustrasi (Property: KabarAktual.id/ChatGPT)

MUTASI pejabat seharusnya menjadi sarana pembenahan birokrasi, bukan ajang bagi-bagi jabatan. Namun, yang terlihat di tubuh pemerintahan Aceh justru sebaliknya. Pergeseran jabatan yang semestinya memperkuat kinerja malah menimbulkan tanda tanya soal kompetensi, rekam jejak, dan etika birokrasi.

Fenomena ini mengonfirmasi keresahan publik, bahwa proses mutasi di pemerintahan Aceh belum dijalankan dengan asas profesionalitas dan meritokrasi. Penempatan sejumlah pejabat terlihat lebih mencerminkan kompromi politik dan kedekatan personal, ketimbang hasil penilaian kinerja yang objektif.

Dalam teori birokrasi modern, Max Weber menekankan pentingnya sistem rasional-legal: jabatan diberikan berdasarkan kompetensi, bukan loyalitas pribadi. Aparatur negara bekerja dengan aturan, bukan perasaan. Ketika prinsip ini diabaikan, birokrasi akan kehilangan rasionalitas dan berubah menjadi arena politik jabatan.

Baca juga: Mabuk Mutasi; “Abeh Batre bak Peubulat-bulat Sente”

Kenyataan di Aceh menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Beberapa pejabat eselon III dan IV yang belum memenuhi syarat kepangkatan atau pengalaman justru menempati posisi strategis. Ada kepala bidang yang baru berpangkat IIIA sudah ditunjuk sebagai pelaksana harian (Plh) kepala dinas. Ada pula guru SMK yang langsung dilantik sebagai Kabid Sarpras pada Dinas Pendidikan tanpa pengalaman administratif.

Keputusan seperti ini tidak hanya menyalahi prinsip profesionalitas, tetapi juga berisiko besar pada efektivitas kerja lembaga. Ketika jabatan strategis diisi oleh orang yang belum matang secara teknis maupun manajerial, kualitas kebijakan publik bisa terganggu, dan masyarakatlah yang menanggung akibatnya.

Baca juga: Intat Linto JPT

Kecenderungan seperti itu juga akan menimbulkan bumerang bagi Mualem sendiri yang sering mengklaim dirinya bekerja untuk rakyat. Kalau pejabat yang dilantik tidak mampu bekerja seperti kasus di Dinas Koperasi yang realisasi anggarannya minim, justeru Mualem sedang mengingkari ucapannya sendiri. Rakyat tidak merasakan kehadiran pemerintah kalau APBA tidak mengucur akibat ketidakmampuan pejabat yang ditunjuk mengelola.

Baca juga: Kasatpol PP Lhokseumawe Contoh Buruk Pola Rekruitmen Pejabat

Kasus pembatalan pemberhentian dr. Hanif dari jabatan Direktur RSJ juga memperlihatkan ketidakhati-hatian dalam proses mutasi. Kebijakan yang terburu-buru bukan hanya merusak tatanan birokrasi, tetapi juga menimbulkan instabilitas di internal pemerintahan.

Antara Loyalitas dan Kompetensi

Birokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh di atas sistem merit, bukan patronase. Setiap jabatan harus diisi oleh orang yang paling layak, berdasarkan penilaian objektif terhadap kinerja, kemampuan, dan integritas.

Baca juga: Ya … Jabatan Memang bukan Harta Pusaka!

Namun yang terjadi belakangan adalah sebaliknya: kedekatan dianggap lebih penting daripada kemampuan. Fenomena “ikut ke mana gubernur atau sekda pergi” sering kali menjadi tiket naik jabatan, bahkan mengalahkan prestasi kerja.

Padahal, menurut paradigma New Public Management (NPM) — kerangka reformasi birokrasi modern yang menekankan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas — birokrasi harus dikelola seperti organisasi profesional, dengan sistem evaluasi kinerja yang jelas dan hasil yang terukur. Loyalitas tanpa kompetensi justru berbahaya: menghasilkan pejabat yang patuh, tapi tidak produktif.

Mutasi yang tidak berlandaskan merit akan berbalik menjadi bumerang. ASN yang bekerja sungguh-sungguh kehilangan motivasi karena melihat ketidakadilan dalam promosi jabatan. Publik kehilangan kepercayaan terhadap integritas pemerintahan. Akibatnya, seluruh struktur birokrasi kehilangan energi moral untuk berfungsi sebagai pelayan masyarakat.

Bahaya Politik Jabatan

Politik jabatan adalah penyakit lama yang terus berulang. Ketika jabatan dijadikan alat balas budi atau sarana membangun dukungan politik, maka seluruh sistem administrasi berubah menjadi mesin patronase.

Padahal, regulasi kepegawaian nasional telah lama menekankan perlunya penerapan Talent Pool, Job Fit Analysis, dan Assessment Center untuk memastikan setiap rotasi dan promosi dilakukan secara profesional.

Namun, selama kebijakan mutasi masih didorong oleh kepentingan sempit, semua itu hanya akan menjadi slogan administratif. Pemerintahan yang seharusnya menjadi instrumen pelayanan publik berubah menjadi panggung personal yang sarat kompromi.

Masih ada waktu bagi Pemerintah Aceh untuk memperbaiki arah. Mutasi bisa menjadi momentum pembaruan, jika dijalankan dengan prinsip-prinsip dasar birokrasi modern:

1. Profesionalitas – jabatan publik diberikan kepada yang kompeten, bukan yang dekat.

2. Transparansi – publik berhak mengetahui alasan di balik setiap rotasi jabatan.

3. Akuntabilitas – setiap pejabat memiliki kontrak kinerja yang terukur.

4. Evaluasi berkala – hasil kerja harus dinilai secara terbuka, bukan berdasarkan persepsi.

Birokrasi Aceh membutuhkan pejabat yang mampu bekerja, bukan hanya hadir dan setiap ada atasan. Pemerintahan daerah akan kuat bila dijalankan oleh individu yang punya kapasitas dan integritas.

Mutasi pejabat bukanlah sekadar ritual administratif, melainkan barometer moral pemerintahan. Jika dijalankan dengan serampangan, ibarat bumerang, ia akan memukul balik — melemahkan birokrasi, menurunkan kepercayaan publik, dan menghambat kemajuan Aceh sendiri.

Mutasi yang salah arah bukan hanya soal prosedur, tapi cermin kegagalan memahami esensi birokrasi. Pemerintah Aceh harus ingat: jabatan adalah amanah publik, bukan hadiah politik. Birokrasi yang berfungsi adalah birokrasi yang rasional, transparan, dan berorientasi pada kinerja.

Reformasi birokrasi Aceh tidak akan berhasil tanpa keberanian memutus rantai patronase. Sebab pada akhirnya, kemajuan Aceh tidak ditentukan oleh seberapa banyak pejabat dimutasi, tetapi oleh seberapa layak mereka yang duduk di kursi itu.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *