PAJAK terlanjur dianggap sebagai produk kebijakan Barat yang dikenal dengan tax dalam bahasa Inggris. Pandangan ini kemudian membandingkannya dengan formulasi Zakat dalam Islam. Kedua konsep ini tentu memiliki perbedaan yang sangat tajam.
Secara sederhana, pajak dibebankan kepada semua warga negara. Sedangkan zakat (mal) dalam Islam hanya dikenakan kepada mereka yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih. Sedangkan orang miskin justeru termasuk ke dalam salah satu asnaf atau penerima zakat.
Bagaimana sejarah pajak dari waktu ke waktu? Berikut hasil rangkuman Redaksi berdasarkan ChatGPT yang dihimpun, Kamis (28/8/2025).
Baca juga: UAS ke Petugas Pajak: Kalau tak Bersedekah, Neraka Jahannam Tempat Kalian!
Tidak ada satu “penemu” pajak. Pajak lahir bersamaan dengan munculnya negara awal yang butuh membiayai administrasi, irigasi, militer, dan lumbung cadangan. Bukti sangat tua datang dari:
Mesir Kuno (±3000 SM): catatan pemungutan hasil panen dan kerja rodi (corvée) untuk proyek publik sering dikutip sebagai rekor awal perpajakan.
Mesopotamia/Sumer–Babilonia (±3.000–1.700 SM): tablet tanah liat dan Kode Hammurabi memuat beban wajib dan pengecualian; kerja paksa negara dipandang sebagai bentuk levy (pajak dalam kerja).
Baca juga: Kejar Target PAD, Illiza “Jegal” Masyarakat Dengan Syarat Lunas PBB Saat Mengurus Adm
Tiongkok awal (Qin–Han dan sesudahnya): arsip pajak tanah, hasil, dan kerja wajib menunjukkan birokrasi pajak yang sangat rapi sejak awal kekaisaran.
Kesimpulan: pajak bukan ciptaan satu orang/agama, melainkan fungsi dasar negara yang muncul di banyak peradaban hampir bersamaan.
Karena muncul paralel, tidak ada “pelopor tunggal”. Namun, tiga pusat awal yang paling sering disebut adalah Mesir, Mesopotamia (Sumer/Babilonia), dan Tiongkok. Dalam konteks agama: pada masa awal, pajak kerap berjalin dengan tithes/derma kuil sekaligus beban negara; kemudian di tradisi Abrahamik lahir konsep zakat/tithe yang religius, berdampingan (kadang beririsan) dengan pajak negara sekuler.
Dalam fikih keuangan publik klasik, instrumen utama meliputi:
Zakat: kewajiban religius untuk umat Islam atas harta/hasil tertentu; pos penerima diatur (ashnaf).
Jizyah: pungutan atas non-Muslim dewasa yang mendapat perlindungan negara (dengan pengecualian tertentu). Praktiknya mulai terlihat pada periode Madinah.
Kharaj: pajak tanah di wilayah taklukan/negara; penguatan kebijakan pada masa Khalifah ‘Umar.
‘Ushr (persepuluhan hasil tani) dan khums (seperlima ghanimah/temuan tertentu) dalam kondisi tertentu.
Dalam praktik sejarah panjang, bentuk administrasinya beragam. Misalnya Kesultanan Utsmani pernah memakai iltizām (tax farming), yaitu melelang hak pungut pajak kepada pemodal (mültezim)—efisien bagi kas, tetapi rawan ekses di lapangan hingga akhirnya dihapus pada era Tanzimat (abad ke-19).
Negara/kekuasaan yang “menindas” rakyat dengan pajak tinggi (contoh sejarah)
“Penindasan” adalah penilaian normatif; di sini dipilih contoh sejarah ketika pungutan dinilai berat/tidak adil hingga memicu resistensi sosial:
Prancis: Pajak Garam (Gabelle) – pungutan garam yang sangat tidak populer sejak abad ke-14; disparitas harga antar-daerah dan kewajiban membeli garam “resmi” membuatnya simbol ketidakadilan pajak; dihapus 1790 saat Revolusi, dihidupkan lagi Napoleon, baru benar-benar berakhir abad ke-20.
India di bawah kolonial Inggris: Monopoli & Pajak Garam – UU Garam 1882 melarang rakyat membuat/menjual garam, memaksa membeli garam mahal berpajak; memicu Salt March (1930) yang dipimpin Gandhi.
Inggris (1381): Poll Tax – pajak kepala berulang dan dianggap memberatkan rakyat kecil menyulut Peasants’ Revolt (Pemberontakan Petani).
Berbagai rezim pra-modern: kerja rodi (corvée) – pungutan tenaga kerja wajib untuk proyek negara; sering dipandang sebagai bentuk beban pajak non-tunai yang menekan.
Pajak di Indonesia: Dari Kolonial Hingga Era Modern
1. Masa Kolonial Belanda
Tanam Paksa (Cultuurstelsel, 1830–1870): rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor (kopi, tebu, nila) di sebagian tanahnya. Walaupun tidak disebut “pajak” langsung, praktik ini sejatinya pungutan paksa hasil bumi untuk kas negara kolonial.
Landrente (pajak tanah): diterapkan setelah Tanam Paksa berakhir. Rakyat diwajibkan membayar pajak dari hasil tanahnya; sistem ini menegaskan status tanah sebagai obyek pajak.
Kerja rodi juga digunakan sebagai bentuk pajak tenaga untuk membangun jalan, irigasi, dan infrastruktur kolonial.
2. Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)
Jepang mengenalkan pajak hasil bumi (nōzei) dan romusha (kerja paksa) yang dipandang sebagai bentuk pungutan pajak non-uang.
Semua diarahkan untuk mendukung logistik perang.
3. Awal Kemerdekaan (1945–1960-an)
Pemerintah RI yang baru berdiri segera membentuk Jawatan Pajak (1945).
Undang-Undang Darurat Pajak diterapkan untuk mengisi kas negara, meski administrasi masih lemah.
Sistem perpajakan banyak mengadopsi warisan Belanda.
4. Orde Baru (1966–1998)
Tahun 1983 jadi tonggak penting: reformasi pajak dengan penerapan self assessment system, di mana wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya.
Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diperkenalkan lebih sistematis.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diperkuat perannya sebagai institusi utama pemungut pajak.
5. Era Reformasi (1998–sekarang)
Pajak menjadi tulang punggung APBN: lebih dari 70% penerimaan negara bersumber dari pajak.
Reformasi struktural: digitalisasi administrasi (e-filing, e-bupot, e-faktur).
Program Tax Amnesty (2016) berhasil menarik ribuan triliun aset deklarasi.
Seiring berjalannya waktu, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP, 2021) kembali memperkuat sistem pajak, termasuk perluasan basis pajak digital (Pajak atas Produk Digital/PMSE).
Refleksi
Dari zaman kuno hingga modern, pajak selalu punya dua wajah: Sebagai alat negara untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan. Sebagai potensi beban bila dipungut secara sewenang-wenang atau tanpa imbal balik yang jelas.
Di Indonesia, perjalanan panjang perpajakan menunjukkan transisi dari pungutan paksa kolonial ke sistem modern berbasis kesadaran, dengan tantangan utama: meningkatkan kepatuhan tanpa menambah beban yang memberatkan rakyat.[]
Catatan Redaksi:
Naskah ini dihimpun melalui ChatGPT