Opini  

Pemerintah Aceh tidak Membanggakan

Avatar photo
Ilustrasi (foto: threads.net)

Kebijakan politik anggaran Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf yang baru beberapa bulan menjabat salah kaprah. Ternyata sama sekali tidak membanggakan.

Konon pula dengan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2025 sebesar Rp 20,9 miliar untuk kepentingan instansi vertikal yang ada di Aceh, ini dengan kebijakan serta penetapan anggaran antara eksekutif dan legislatif yang terjerat serta terjebak kepentingan politik dengan adanya jeratan persoalan serius dengan yudikatif. Dapat saja disebabkan masih kental dan seriusnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan Pemerintahan Aceh, tidak adanya transparansi “law enforcement”, sehingga saling memanfaatkan kepentingan politik, terutama melalui pemenuhan balas jasa politik anggaran.

Sesungguhnya uang sebanyak itu bukan sedikit, di tengah persoalan hampir 75-80 persen belanja barang dan jasa serta tunjangan finansial terhadap pejabat Pemerintah Aceh, yang berasal juga dari rakyat. Ternyata uang sebanyak lebih Rp 20,9 lebih diutamakan kepada aktivitas pembelanjaan barang dan jasa instansi vertikal, jauh dari target mensejahterakan rakyat Aceh, melalui stimulus ekonomi real.

Hal ini secara empirik memperlihatkan serta membuktikan bahwa Pemerintah Aceh tidak pro-rakyat, serta tidak memiliki “senses of crisis and belonging” terhadap persoalan mendasar dari rakyat Aceh. Ibaratnya telah “buta mata hatinya” terhadap berbagai persoalan rakyat Aceh yang memerlukan efektivitas dan efisiensi kebijakan publik dan anggaran dari pada Pemerintah Aceh yang baru seumur jagung yang memiliki persoalan internal politik, birokrasi dan pemerintahan, eksekutif dan legislatif. Di samping itu terus semakin terlihat akrobat politik partisan dari partai politik yang menjadi pendukung utama Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) yang carut-marut, sangat kental “bau amis korupsi” serta konspirasi politik transaksional. Demikian juga irisannya lebih banyak hanya konspirasi politik diantara elite berkuasa di Aceh dan partai politik. Sehingga kedaulatan serta kekuasaan rakyat yang selalu tertipu pencitraan mereka hanya berakhir pada kotak suara bersegi empat satu meter tersebut saja pada saat pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) saja.

Jika model seperti ini menjadi elite politik, pemimpin Aceh yang lebih mementingkan dirinya, kelompok dan golongannya, alangkah baiknya mundur saja dari pejabat publik Aceh dan “low competent of leaderships”. Maka rakyat Aceh sudah sangat lelah, muak, jijik dan membosankan melihat “political behavior” para pemimpin Aceh, juga dapat dipastikan yang sama sekali tidak mampu menyelesaikan persolan rakyat Aceh, terutama terhadap hal yang klasik dan krusial yaitu, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, ketidakmerataan, perubahan serta perbaikan kehidupan yang lebih baik, makmur dan sejahtera.

Demikian juga sudah sangat jamak dipahami oleh rakyat, bahwa janji politik masa kampanye semuanya omong kosong “bullshit” dapat dijamin setelah dilantik dan ditetapkan oleh pemerintah pusat Jakarta, hanya mementingkan keinginan politik partai, golongan dan pemerintah pusat Jakarta.

Meskipun tampilan pencitraannya tidak lebih memanfaatkan undang-undang otonomi daerah sebagai alat pemuas kebutuhan politik elite saja. Bahkan undang-undang otonomi khusus (lex specialist) terhadap Aceh hanya tinggal diatas kertas, mati suri dan terkubur dalam rimba kepentingan politik nasional, hanya sekedar membasahi bibir mereka saat melakukan orasi politik dihadapan rakyat.

Dengan demikian, realitasnya masih memperlihatkan perilaku politik anggaran belanja publik yang sama sekali tidak pro-rakyat tersebut. Sehingga rakyat Aceh hanya disajikan drama kolosal kemunafikan politik yang berulang-ulang, karena asumsi kebodohan mereka adanya anggapan rakyat “tidak tahu/bodoh”. Sesungguhnya pada kenyataannya kehidupan sosial kemasyarakatan rakyat Aceh lebih pintar dari mereka. Tidak seperti yang ada dalam pikiran mereka para elite, pemimpin Aceh serta Pemerintahan Aceh yang tidak paham interaksi sosial dan sosiologi politik Aceh serta hanya mampu menebar mimpi kehidupan. Karenanya dari pada terus menyajikan drama politik yang terus-menerus menyiksa serta tidak mampu memperbaiki, juga merubah kehidupan rakyat Aceh untuk menjadi lebih baik, maka lebih baik mundur saja.

Daripada nantinya terjerat serta tersangkut kasus hukum yang lebih berat dan taruhannya penjara, karena berbagai bentuk doa dan kekecewaan rakyat Aceh yang tidak rela dipimpin oleh orang-orang yang terus akan bermasalah. Apalagi tidak mampu menjadikan kehidupan rakyat Aceh lebih bertamaddun, makmur serta sejahtera ditengah gempuran carut-marut masalah politik lokal, nasional dan internasional yang tidak tahu berharap serta mengadu pada siapapun.[]

Penulis adalah pengamat kebijakan publik dan seorang akademisi, berdomisili di Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *