Opini  

Dua Syarat Diterimanya Amal Ibadah

Avatar photo
Ilustrasi ibadah (foto: detikcom)

SETIAP muslim harus tau bahwa Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan apapun dan siapapun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil. Kedua syarat itu adalah

1. Amalan tersebut harus ikhlas karena Allah Ta’ala.

2. Tatacara pelaksanaannya harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw 

Dalilnya langsung dari Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 110,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya,

( فمن كان يرجو لقاء ربه ) أي : ثوابه وجزاءه الصالح ، ( فليعمل عملا صالحا ) ، ما كان موافقا لشرع الله ) ولا يشرك بعبادة ربه أحدا ) وهو الذي يراد به وجه الله وحده لا شريك له ، وهذان ركنا العمل المتقبل . لا بد أن يكون خالصا لله ، صوابا على شريعة رسول الله صلى الله عليه وسلم . وقد روى ابن أبي حاتم من حديث معمر”

 “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah yakni mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.)

Ikhlas Karena Allah

Ikhlas dalam Islam adalah sikap tulus dan murni dalam beribadah dan beramal, tanpa mengharapkan pujian atau imbalan dari manusia. Ikhlas merupakan salah satu prinsip dasar iman dalam Islam. 

Apapun amal ibadahnya harus ikhlas karena Allah Ta’ala, semata-mata mengharap ridha Allah Ta’ala. Berarti kalau seseorang beribadah bukan karena Allah swt jelas ibadahnya tidak diterima Allah swt.

Apalagi ibadah berbentuk doa dan isti’anah kepada makhluk ini justru menjadi syirik besar. Bahkan syirik akbar ini dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam alias murtad. Seperti berdoa minta bantuan dukun atau ‘orang pintar’ tentang sesuatu hal yang semestinya hanya hak Allah, seperti minta diluaskan rizkinya, minta hujan, minta penglaris, dapat menang pemilu dan hajat lainnya. Doa seperti ini justru menjerumuskan dalam lembah kemusyrikan.

Kemudian ibadah itu dikatakan ikhlas harus lepas dari syirik ashghar atau syirik kecil yaitu riya’ dan sum’ah.

 Riya’ itu bahasa Arab yang berasal dari kata ‘ra’a’ yang artinya melihat. Jadi kalau kita beribadah diperlihatkan-lihatkan kepada orang lain dengan tujuan agar mendapat pujian, maka ini jelas kontra ikhlas.

Contoh riya’ seperti orang yang bersedekah diperlihatkan orang lain dengan tujuan agar mendapat pujian. Dan, inilah salah satu bentuk amal shalih yang tidak ikhlas.

Beramal dengan ‘sum’ah’ juga tanda tak ikhlas karena Allah Ta’ala. Sum’ah itu bahasa arab dari kata ‘sami’a‘ artinya mendengar. Jadi kalau kita beramal ibadah diperdengarkan-dengarkan orang lain dengan niat agar mendapat pujian apresiasi atau karena yang lain berarti amalnya tidak ikhlas karena Allah.

Contoh sum’ah’ seperti orang baca Al-Quran dengan suara  keras agar didengar orang lain dengan tujuan mendapat pujian. 

Kalau kita beramal mengharap pahala surga dari Allah dan terhindar dasi siksa neraka atau berharap murah rezeki dari Allah apakah dikatakan ikhlas karena Allah ? Masih.!  Karena masih lillah.  Karena Allah swt.

Tapi tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah ikhlas yang hanya ‘libtighai mardhatillah’ semata-mata mengharap ridha Allah Ta’ala.

Ikhlas dalam beramal itu diperintahkan langsung dari Allah Ta’ala dan RasulNya saw, sebagaimana juga ditegaskan dalam firman Allah swt,

قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ ۝١١

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya”(Az-Zumar : 11) 

Orang yang ikhlas itu menghendaki pahala akhirat, bukan balasan dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. [Asy-Syûra/42: 20]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ

“Barangsiapa di antara mereka (umat ini) beramal dengan amalan akhirat untuk dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian di akhirat”(HR.Ahmad).

Sesuai Sunnah Rasulullah SAW

Ini syarat kedua diterimanya amal ibadah harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw. Hal ini dipertegas dalam firman Allah SWT :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia larang kepadamu, maka tinggalkanlah”. [Al-Hasyr: 7]

Ayat ini nyata menjelaskan kewajiban ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Dalam hadits shahih berikut ini juga ditegaskan,

عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ» رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: «مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.” (HR Muslim no. 171)

Hadits ini nyata-nyata mengharamkan beribadah menyalahi sunnah Rasul.

Jadi kita beramal shalih atau ibadah wajib mengikuti sunnah Rasul bukan mengikuti tradisi nenek moyang.

Suatu ibadah tiada landasan syara’ itu namanya bid’ah yakni membuat syariat baru dalam beragama.

Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”

Dengan kaedah di atas tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya.

Di antara dalil kaedah adalah firman Allah Ta’ala,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa: 21).

 Semoga kita diberikan taufiq dan hidayah dari Allah Ta’ala sehingga kita tetap istiqamah beribadah dengan ikhlas karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah saw. Aamiin

Wallahu a’lam bishshawab

Kuala Tungkal, 15 Ramadhan 1446

Penulis: Pemerhati Kehidupan Beragama berdomisili di Kuala Tungkal, Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *