PENJABAT (Pj) Gubernur Aceh Safrizal ZA adalah sosok fenomenal. Langkah dia melakukan “verifikasi” calon penerima bantuan rumah layak huni (RLH) berhasil mencuri perhatian publik. Dia disanjung-sanjung.
Padahal apa yang dilakukan itu tidak lebih dari sebuah pencitraan, hanya selfi-selfi sambil menikmati anggaran perjalanan dinas. Kesempatan yang sudah sejak lama dinantikan untuk bisa memamerkan “bruek kreung” kepada khalayak.
Selfi-selfi di rumah dhuafa, mungkin, hanya punya efek jangka pendek. Hanya sebatas mereguk biaya perjalanan dinas.
Ada yang lebih strategis dan lebih fenomenal. Safrizal hendak melakukan mutasi 20 pejabat eselon saat dia akan mengakhiri masa jabatan.
Tindakan pejabat eselon I Kemendagri yang seharusnya menjunjung tinggi aturan membuat geleng-geleng kepala banyak orang. Dia masih terpikir dan sempat-sempatnya melakukan mutasi pejabat dua pekan menjelang lengser.
Dia melakukannya dengan strategi yang matang. Dengan membentuk panitia seleksi (Pansel) seolah-olah apa yang dilakukan itu memiliki legalitas.
Sesungguhnya yang dilakukan Safrizal adalah “”praktik aji mumpung””, menggunakan kesempatan saat menjelang berakhir masa jabatan. Sehingga, dapat dipastikan ini adalah rent seeking politics atau politik memburu rente untuk bertindak atas nama cuan untuk tuannya di Jakarta.
Safrizal yang Direktur Jenderal (Dirjen) Kemendagri selama ini ditugaskan sebagai Pj Gubernur Aceh, dimanfaatkan untuk dan agar dapat melaksanakan jabatannya, di samping tidak terlepas dari melaksanakan transaksional politik. Jadi praktik patront and client, antara tuan dan cuan, juga mengambil kesempatan pada akhir masa jabatan.
Pada dasarnya, gubernur definitif saja tidak boleh melakukan mutasi enam bulan setelah dilantik dan enam bulan menjelang berakhir masa jabatan. Konon lagi seorang pejabat sementara? Apa urgensinya mengganti pejabat di daerah yang segera ditinggalkannya kecuali ada motif pragmatisme?
Nampaknya, aturan hukum tidak penting bagi penguasa yang suka ugal-ugalan, asal bapak senang. Karena, tidak adanya ketegasan hukum di republik ini, maka pejabat yang berkuasa seenaknya melakukan praktik pelanggaran hukum dan aturan, dengan prinsip asal bapak senang, setoran lancar.
Maka praktik transaksional politik, memiliki kecenderungan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan terus berlanjut, berlangsung dengan turunannya secara vertikal dan horizontal kepada pejabat publik di bawahnya.
Dengan demikian, praktik aji mumpung mutasi jabatan ini tidak terlepas dari KKN, aji mumpung, dan transaksional politik yang telah dan tetap merusak tatanan berbangsa dan pemerintahan di Aceh. Praktik berburu rente Pj Gubernur Safrizal dengan alasan evaluasi kinerja pejabat publik, ini diperkirakan akan terus berlanjut.
Mereka tidak berpikir untuk kesejahteraan rakyat, tapi melanjutkan kuantifikasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal, mereka digaji dari uang yang terkumpul dari pajak yang dibayar rakyat. Miris!
Penulis; pengamat kebijakan publik yang juga akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh