MUHAMMAD Iswanto adalah contoh buruk seorang penjabat bupati. Meskipun penilaian formal secara administratif oleh atasannya di birokrasi mendapatkan ranking teratas, dalam praktik keseharian justeru bertolak belakang 180 derajat.
Pj Bupati Aceh Besar itu sangat suka disanjung-sanjung. Karena gandrung pencitraan, maka aktivitas terbesarnya dalam menjalankan roda pemerintahan adalah seremonial dan seremonial. Suka sekali publikasi.
Nyaris sulit ditemukan program yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Bisa jadi, lantaran pejabat eselon II Pemerintah Aceh ini memang minim kapasitas.
Memang benar, penunjukan seorang Pj bupati adalah kewenangan Pusat. Suka-suka mereka.
Dan, itulah legasi kebijakan Pemerintahan Jokowi yang melahirkan grand desain pemilu serentak. Kebijakan yang oleh film Dirty Vote disebut sebagai ajang keculasan demi keculasan.
Salah satu aksi pencitraan Iswanto adalah menyapu. Padahal menyapu itu tugasnya cleaning servis. Apakah Pj bupati hendak memberi contoh kepada semua pejabat agar setiap hari menyapu? Apakah menyapu tugas seorang kepala dinas?
Kebijakan yang secara massif memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk menempatkan figur-figur yang tidak memiliki cukup kapasitas memimpin menjadi Pj kepala daerah, seperti di Aceh Besar itu. Makanya tidak aneh kalau kemudian terjadi ugal-ugalan dalam memimpin.
Secara aturan formal, memang tidak ada masalah. Karena yang dilihat adalah kepangkatan ASN dan selembar rekomendasi. Setelah itu, seseorang langsung mendapatkan seabrek fasilitas dan tunjangan kepala daerah.
Itu semua tentu saja tanpa mandat dari rakyat. Tapi rakyat yang harus menerima imbasnya.
Banyak oknum kepala daerah pilihan Pusat yang menerapkan praktik “aji mumpung” ketika mendapat kesempatan berkuasa tanpa melewati mandat rakyat. Mereka memposisikan diri seperti pemegang kekuasaan sesungguhnya, mereka lebih berkuasa dari bupati definitif.
Lihat Iswanto, contohnya. Dia meninggalkan tugas seenaknya tanpa menunjuk pejabat sementara beberapa waktu lalu ketika berangkat umroh. Dia juga melakukan mutasi sekehendak hati.
Tindakan otoriter Iswanto mencapai puncak, kemarin, ketika secara ujug-ujug dia memecat Sulaimi dari jabatan Sekda. Iswanto bertindak seakan-akan sedang memimpin perusahaan pribadi. Karena itu, bisa sesuka hatinya memecat siapa saja.
Memang publik tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti halnya Sulaimi yang dipecundangi dengan sesuka oleh Iswanto, apa yang dilakukan itu tetap sah secara administratif. Tapi, Iswanto telah meninggalkan contoh buruk bagi birokrasi Aceh Besar. Dia memperlihatkan gaya kepemimpinan barbar yang tentu saja tidak baik dilihat oleh generasi berikutnya.
Sebagai pemimpin, harusnya Iswanto bisa menyelesaikan setiap persoalan dalam kepemimpinan dengan kepala dingin. Bukan menciptakan permusuhan, apa lagi dengan sesama putra Aceh Besar.
Tidak jauh beda dengan di provinsi. Era kepemimpinan Pj selama beberapa tahun terakhir meninggalkan kesan sangat amburadul. Para Pj, baik di level gubernur maupun bupati/wali kota, hanya menghadirkan berbagai masalah.
Itulah sebuah episode tata kelola pemerintahan yang melahirkan kesemrawutan dan kesemrawutan. Khusus di Aceh, kepemimpinan para Pj semakin menjauhkan daerah ini dari substansi yang menjadi ciri khasnya.
Para Pj sama sekali tidak berpikir tentang bagaimana menguatkan implementasi penegakan syariat Islam, sehingga kasus-kasus pelanggaran terkesan dibiarkan. Misalnya, terjadi booming kasus prostitusi online hampir di seluruh Aceh belakangan. Tidak terlihat sikap atau tindakan ril dari para Pj.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya hanya satu. Karena mereka bekerja bukan untuk Aceh, tapi untuk Pusat.[]