Politik di Ranah Pendidikan

Ilustrasi (foto: Pixabay)

SEORANG guru agama SMAN 87 Jakarta, berinisial NK, dituding menyebarkan doktrin anti-Jokowi, presiden RI. Sontak kasus ini menimbulkan kehebohan.

Sang guru dinonaktifkan dalam hitungan jam.
Berikutnya, muncul kabar, Menteri bertindak sigap, menurunkan tim ke SMAN 87, tidak lama setelah itu. Dunia pendidikan dibuat guncang.

Pada waktu yang lain, kita mendengar kabar tentang guru yang dimutasi atau dirotasi menjadi pegawai biasa gara-gara tidak mendukung calon tertentu dalam Pilkada.

Di ranah birokrasi, kita juga sering disuguhi informasi tentang bagaimana kepala daerah memainkan “pion”nya; menempatkan orangnya sebagai pimpinan birokrasi pendidikan meskipun tidak jarang terjadi, orang tersebut bukan pejabat karier.

Terlepas dari kebenaran kasus yang menimpa NK, berbagai kasus di atas memberi kesimpulan bahwa dunia pendidikan rentan dirasuki masalah politik. Kita tidak sedang membahas apakah guru NK benar atau salah memutar video tentang bencana gempa.

Tapi, yang hendak kita katakan disini adalah, ranah pendidikan — setidaknya melihat beberapa kasus di atas — terlalu mudah dicampuri oleh tindakan politik praktis.

Padahal, kita sebagai orang yang berada di luar domain pendidikan, tidak memiliki pengetahuan dan kewenangan untuk menghitamputihkan tindakan guru yang sedang melaksanakan tugas di lingkungan sekolah.

Guru yang sedang berada di sekolah, yang sedang melaksanakan tugas, adalah tenaga profesional yang sedang melaksanakan tugas profesi. Sama sepeti tugas profesi lainnya, dokter misalnya, seyogiyanya tidak dengan begitu saja dapat diintervensi oleh pihak lain.

Kasus guru SMAN87 Jakarta memberi pelajaran kepada kita, betapa tidak berdayanya lembaga pendidikan, wilayah profesi guru. Tanpa upaya meminta klarifikasi atau membentuk tim pencari fakta, vonis bersalah langsung dijatuhkan. Padahal, sebagaimana tugas profesi lainnya, tugas pendidik pun pasti memiliki standar operasional prosedur (SOP).

Memasuki sebuah wilayah “”otoritas”” tertentu oleh pihak yang bukan bagian dari otoritas itu, bukankah sebuah pelanggaran etik? Jika memang ditengarai ada yang tidak beres pada kejadian di SMAN 87, kenapa tidak ada upaya klarifikasi?

Apakah aktivitas yang dilakukan guru NK bukan sebuah kegiatan pembelajaran? Melanggar SOP pembelajaran atau tidak? Apakah kegiatan guru menggunakan media pembelajaran di kelas dapat dikatakan sebagai kejahatan?

Belajar dari kasus di atas, pihak berwenang perlu membuat sebuah aturan yang baku tentang batas-batas yang tegas yang mengatur boleh tidaknya intervensi pihak di luar profesi pendidikan ke dalam wilayah profesi pendidikan.

Lingkungan sekolah adalah wilayah netral, yang harus bersih dari perilaku politik praktis. Sebagai wilayah profesi yang terikat kode etik, ranah pendidikan harus memiliki kewenangan yang independen. Karena pendidikan adalah wilayah netral, wilayah yang berkhidmat untuk mencerdaskan generasi bangsa. Jadi, pendidikan tidak boleh dikotori oleh kepentingan politik siapapun, baik dari luar apa lagi dari dalam instistusi pendidikan itu sendiri.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *