Korban Kebohongan Jokowi

Gambar karikatur pinokio mirip wajah Jokowi yang menjadi cover majalah Tempo beberapa waktu lalu (foto: Ist)

AKHIRNYA, seluruh energi bangsa kini terkuras bukan untuk membangun. Pikiran dan sumber daya yang tersisa habis terbuang untuk meluruskan “warisan kebijakan salah urus” peninggalan mantan presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selama 10 tahun memimpin negeri ini.

Banyak proyek besar yang dahulu diklaim sebagai “terobosan kemajuan” kini berubah menjadi beban sejarah. Pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto mewarisi sederet persoalan pelik: utang membengkak, pembiayaan proyek tak realistis, hingga fondasi fiskal yang rapuh akibat ambisi pembangunan yang tak diimbangi perencanaan matang.

Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah contoh paling mencolok. Dengan nilai investasi fantastis sekitar Rp 466 triliun, proyek ini semula digadang akan menjadi simbol pemerataan ekonomi dan peradaban baru Indonesia. Namun hingga awal 2024, realisasi investasi swasta baru mencapai Rp 47,5 triliun—jauh dari target Rp100 triliun.

Baca juga: Jokowi Adalah (bukan) Kita?

Artinya, lebih dari dua pertiga pendanaan justru masih bersumber dari APBN, bukan dari investor sebagaimana digembar-gemborkan. Beban keuangan negara pun makin berat, sementara manfaat riil bagi rakyat belum terlihat. DPR bahkan mengkritik percepatan regulasi dan lemahnya partisipasi publik dalam proyek IKN. Apakah pembangunan ini kebutuhan strategis negara, atau sekadar ambisi politik pribadi?

Ironinya, beban yang sama juga mengintai di balik proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), yang oleh Jokowi dijuluki “ikon modernisasi transportasi nasional”. Faktanya, proyek itu kini menyeret utang raksasa hingga US$7,2 miliar atau sekitar Rp116 triliun, dengan tambahan bunga pinjaman mencapai Rp2 triliun per tahun yang harus dibayar ke China Development Bank.

Jokowi berdalih kereta cepat bukan proyek mengejar keuntungan. Namun logika ini menyesatkan: proyek yang dibiayai utang tetap menuntut arus kas sehat agar tidak menjadi beban fiskal.

Baca juga: Mencurigakan, KPU Sembunyikan Nomor Ijazah Jokowi

Jika kini pemerintah harus menalangi bunga utang dan biaya operasional karena pendapatan tiket tak sesuai ekspektasi, siapa yang bertanggung jawab? Rakyat lagi.

Sementara itu, rencana besar lain seperti bandara baru dan proyek infrastruktur berlebihan di daerah banyak yang mangkrak atau tidak efisien. Semangat “pemerataan” berubah menjadi “pemborosan”. Jokowi tampak terlalu sibuk membangun citra sebagai presiden pekerja, namun abai terhadap keberlanjutan fiskal dan keadilan antar-generasi. Ia mungkin meninggalkan kebanggaan semu kemajuan infrastruktur: jalan, jembatan, dan gedung megah. Tapi, jangan lupa. Ia sekaligus juga meninggalkan tumpukan tagihan dan ruang fiskal yang sempit bagi penerusnya.

Baca juga: Jokowi di Mata Seorang Sopir Taksi

Lebih ironis lagi, di tengah kondisi seperti ini, Jokowi masih tampil percaya diri. Ia masih berani berbicara seolah seluruh proyeknya berhasil, bahkan memastikan anaknya — kini menduduki kursi wakil presiden dan membuka jalan politik —  untuk periode berikutnya. Apa yang hendak diwariskan sebenarnya: kejayaan pembangunan, atau dinasti kekuasaan?

Publik pun heran melihat DPR yang nyaris tak bersuara. Lembaga yang seharusnya mengawasi penggunaan anggaran dan kebijakan strategis justru seperti tidur panjang di hadapan Jokowi. Padahal, banyak anggota DPR berasal dari partai politik yang justru pernah mengaku “dikhianati” oleh petugas partai PDIP tersebut. Di mana tanggung jawab moral mereka sekarang? Mengapa tidak ada upaya serius mengevaluasi proyek-proyek bermasalah itu? Ketika fungsi kontrol politik lumpuh, yang tersisa hanyalah persekongkolan kekuasaan.

Pembangunan infrastruktur memang penting. Tetapi pembangunan tanpa akuntabilitas adalah ilusi kemajuan. Tidak ada kebanggaan pada proyek raksasa jika rakyat justru harus membayar bunganya selama puluhan tahun ke depan. Tidak ada “legacy” jika yang diwariskan hanyalah beban.

Kini, di tangan pemerintahan Prabowo–Gibran, sejarah memberi ujian besar: apakah mereka berani meninjau ulang dan memperbaiki warisan Jokowi, atau justru memilih melanjutkan kesalahan yang sama demi kenyamanan politik? Jika pilihan kedua yang diambil, bangsa ini akan kembali terjebak dalam lingkaran proyek megah namun tak berfaedah—di mana utang, korupsi, dan kepura-puraan terus berputar tanpa ujung.

Sudah saatnya negara ini kembali pada akal sehat pembangunan: berorientasi pada manfaat publik, efisiensi fiskal, dan keadilan antargenerasi. Pembangunan bukan sekadar mencetak rekor panjang jalan tol atau gedung tinggi di ibu kota baru, melainkan membangun kepercayaan rakyat bahwa uang mereka dikelola dengan tanggung jawab.

Pemerintahan baru perlu berani mengaudit warisan proyek-proyek besar, mengumumkan hasilnya secara transparan, dan menindak siapapun yang terbukti menyeleweng. Rakyat berhak tahu siapa yang membuat keputusan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang kini harus menanggung akibatnya.

Sepuluh tahun Jokowi adalah bab besar dalam sejarah Indonesia masa kini. Namun bukan berarti bab itu tidak boleh dikritik. Justru di sanalah letak kematangan bangsa: berani menilai secara jujur, dan berani memperbaiki.

Jika generasi kini gagal menagih tanggung jawab atas warisan itu, maka generasi berikutlah yang akan menanggung bunganya; secara harfiah dan politis.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *