Opini  

Jokowi Adalah (bukan) Kita?

Poster film Jokowi adalah Kita (foto: @K2K Picture)

DENGAN jargon “Jokowi adalah Kita”, mantan Wali Kota Solo itu pun mampu “memesona” rakyat Indonesia untuk melangkah lebih tinggi, mengantarkannya menjadi presiden.

Dalam kemasan aneka kesederhanaan, jargon “Jokowi adalah Kita” telah berubah menjadi sebuah energi besar, yang mampu memelesatkan perjuangan Jokowi pada Pilpres 2014.

Ini nyaris tidak bisa diprediksi oleh lawan politik sebelumnya. Jargon itu benar-benar memiliki kekuatan dahsyat; ia mengundang simpati, merefleksikan rasa seakan-akan sejiwa, hingga mampu menyatukan tekad rakyat kebanyakan: dia-lah pilihan kita.Jargon “Jokowi adalah Kita” berhasil menghipnotis pemilih.

Kali ini, kita tidak mendengar lagi ungkapan itu. Tidak ada lagi yel-yel Jokowi adalah Kita. Dalam berbagai temu kader dengan partai pendukung atau di depan publik yang, konon, berlimpah, juga tidak. Entah apa sebabnya.

Dunia perpolitikan kita, bagaimana pun, belum sepenuhnya rasional. Masih sarat dengan nuansa primordial dan cenderung emosional.

Terpilihnya SBY, dulu, juga disebut-sebut tidak terlepas dari suasana kebatinan semacam itu. Masyarakat bersimpati karena ada kesan SBY sebagai korban dalam relasi kekuasaan.

Hampir sama dengan Pilpres 2004, sikap diam dan “mengalah” Jokowi pada Pilpres 2014 juga mengundang simpati. Hal itu mampu mendongkrak elektabilitas mantan Gubernur DKI tersebut.

Tapi, pada Pilpres 2019, fenomenanya jauh berbeda. Kita tidak menemukan lagi “baju” kesederhanaan pada Jokowi. Ia bahkan terkesan antagonis, mulai gencar menyerang lawan. Jokowi telah keluar dari pakem yang pernah dibuat pada Pilpres lalu: Jokowi adalah Kita.

Dalam berbagai kesempatan, ia menyindir kubu lawan dan mematahkan berbagai argumen yang dibangun oleh kelompok pesaing.

Yang sedang hangat, Jokowi menyindir wacana Indonesia bubar-punah dan kebohongan Ratna Sarumpaet. “Kalau mau bubar-punah, punahlah sendiri. Jangan bawa-bawa rakyat Indonesia.” Demikian, antara lain, serangan yang dibangun. 

Sikap keras dan kesan tidak merakyat seperti itu ternyata tidak hanya diperlihatkan oleh Jokowi, tapi juga oleh para pendukung dan simpatisan. Kenapa semakin banyak aksi-aksi yang kontraproduktif dengan jargon “Jokowi adalah Kita”?

Lihatlah apa yang ditunjukkan oleh Menkominfo dan Wali Kota Semarang. Menkominfo Rudiantara populer di media sosial karena ucapannya “yang gaji kamu siapa?”. Sementara Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, melarang masyarakat yang tidak mendukung Jokowi menggunakan jalan tol. Karena, tol dibangun di era Jokowi.

Dua kejadian itu dan serangan-serangan yang antagonis yang semakin gencar dari petahana seperti menghadirkan sebuah titik balik, seperti menjelaskan, Jokowi adalah bukan Kita.

Semoga tidak demikian! 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *