GERAKAN bersih-bersih birokrasi di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf— akrab disapa Mualem—perlahan mendekati garis akhir. Satu per satu kepala SKPA diganti, bagai lembar-lembar lama yang disobek untuk memberi ruang bagi halaman baru.
Hanya tinggal beberapa pos lagi yang menunggu giliran. Setelah itu, daftar “korban” reformasi ini akan lengkap sudah.
Namun, di balik semangat perubahan itu, ada wajah lain dari kebijakan sang mantan Panglima. Sepi dan sunyi.
Puluhan mantan pejabat eselon II kini mendadak kehilangan “panggung.” Mereka yang selama bertahun-tahun duduk di kursi kuasa kini terlempar ke ruang hampa. Mereka tersingkir. Hilang aktivitas, tak ada lagi simbol wibawa.
Baca juga: Bumerang Mutasi
Lalu, sebagian memilih mengurung diri di rumah. Sebagian lain datang diam-diam ke kantor, sekadar menjaga perasaan bahwa mereka masih dibutuhkan.
Di kantin dinas, ada yang terlihat duduk lama sambil memandangi cangkir kopi yang tak lagi hangat. Mereka pernah punya ajudan, sopir, ruangan berpendingin, dan segunung tanggung jawab.
Kini, tiba-tiba … semua itu hilang seperti mimpi buruk yang tak sempat disadari. Dalam diam, ada yang menahan malu, ada pula yang menahan rindu pada kesibukan yang sulit dilupakan.
Lama-lama, kondisi ini bisa berbahaya. Tekanan psikologis bukan hal sepele. Orang yang kehilangan peran sosial bisa kehilangan arah hidup. Bila tak kuat, bisa berujung fatal: strok, depresi, bahkan masuk rumah sakit jiwa. Semoga tidak ada yang sejauh itu.
Baca juga: Tujuh Eselon II Pemerintah Aceh Dinonjobkan, Berikut Pejabat Pengganti Mereka
Tapi kenyataan menunjukkan, di dunia birokrasi kita, luka batin seringkali tidak tercatat di laporan resmi. Masalahnya bukan sekadar soal kehilangan jabatan. Ini tentang kehilangan makna. Dan, di situlah letak tanggung jawab seorang pemimpin: menjaga agar perubahan tidak menjelma menjadi penderitaan.
Di antara mereka yang kini “diparkir,” banyak yang sejatinya masih produktif. Mereka punya pengalaman, pengetahuan, dan jejaring yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan Aceh. Mereka bukan beban, selama ada kebijakan yang mampu menyalurkan potensi mereka dengan tepat.
Baca juga: Intat Linto JPT
Kalaupun tak lagi menempati posisi struktural, mereka bisa diberdayakan sebagai tenaga ahli, penasihat kebijakan, mentor bagi generasi ASN muda, atau penggerak inisiatif daerah. Dengan begitu, masa transisi jabatan tak berubah menjadi masa pengasingan. Dan, yang lebih penting, kebijakan ini menjadi wujud penghormatan terhadap dedikasi para ASN senior yang telah mengabdi puluhan tahun.
Selain itu, pemerintah juga tetap menanggung gaji dan tunjangan mereka. Artinya, membiarkan mereka menganggur bukan hanya kealpaan moral, tetapi juga pemborosan anggaran. Memberi ruang kerja yang relevan berarti menyelamatkan dua hal sekaligus: kemanusiaan dan efisiensi.
Baca juga: Mabuk Mutasi; “Abeh Batre bak Peubulat-bulat Sente”
Kepemimpinan yang baik tidak diukur dari berapa banyak kursi yang diganti, melainkan dari berapa banyak orang yang bisa tumbuh bersama dalam perubahan itu. Kepemimpinan yang sejati bukan menebar rasa takut, tapi menumbuhkan rasa percaya.
Aceh kini sedang berada di simpang jalan antara euforia kekuasaan dan kebijaksanaan. Setelah “booming Plt” ini usai, semoga para pemimpin tak lupa: yang mereka kelola bukan hanya jabatan dan struktur, tetapi juga hati dan kehidupan manusia.
Copot-mencopot pejabat tidak ubahnya ibarat permainan bidak catur bagi penguasa. Sesuatu yang menyenangkan, tapi amat menyakitkan bagi mereka yang menilainya sebagai ketidakadilan. Makanya, tidak aneh kalau kemudian ada yang tetap tidak bisa menerimanya.
Sehingga, muncul rumor ada oknum mantan Kadis yang tidak mau mengembalikan mobil dinas dan kunci ruangan kerja. Atau, ada juga yang berjuang mati-matian di Jakarta agar tetap bisa berkuasa.
Baik bagi penguasa maupun mereka yang merasa jadi korban kekuasaan, ada satu pertanyaan yang harusnya selalu dijadikan sandaran. Untuk tujuan apa semua itu (mutasi dan jabatan)? Karena pada akhirnya, jabatan hanyalah peran yang bisa berganti. Tapi, kemanusiaan … itulah yang abadi.[]












