Etanol di BBM; Transparansi yang Hilang di Tangki Pertamina

Ilustrasi etanol (foto: inet)

LAGI-lagi ada drama di dunia energi kita. Kali ini bukan soal harga naik-turun yang bikin kepala pusing, tapi ini tentang “rahasia dapur” Pertamina: etanol dalam base fuel.

Awalnya sederhana. Pertamina lewat anak usahanya, Patra Niaga, mengimpor 100 ribu barel base fuel. Sebagian—40 ribu barel—sudah mau diborong Vivo Energy. Eh, ternyata kandungan etanol di dalamnya 3,5 persen.

Vivo langsung mundur. Kenapa? Karena SPBU swasta punya resep aditif sendiri. Kalau dicampur etanol, bisa jadi rusak racikan, rusak nama.

Lalu muncul komentar tajam dari pengamat otomotif Bebin Djuana: menambah etanol itu cara “murahan” untuk menaikkan angka oktan.

Baca juga: Pengaruh Etanol terhadap Mesin Kendaraan

Murahan? Kata ini jelas bikin telinga panas. Apalagi kalau yang ngomong seorang pakar yang tahu persis dunia otomotif.

Yang bikin lebih runyam, Kementerian ESDM sendiri mengaku baru tahu soal etanol di BBM ini. Lah, masa regulator kaget dengan apa yang dilakukan BUMN energi raksasa? Kalau begitu, selama ini siapa yang kontrol?

Publik wajar bertanya-tanya: apakah BBM yang mereka beli di SPBU Pertamina, dari Pertalite sampai Pertamax, juga mengandung etanol?

Baca juga: Dioplos Etanol, SPBU Swasta Batal Beli BBM dari Pertamina

Pertamina tentu tidak tinggal diam. Mereka pasang tameng argumen: penggunaan etanol itu praktik biasa kok, bahkan best practice di Amerika, Brasil, dan Thailand.

Betul, tapi ada satu hal yang lupa mereka tambahkan: di negara-negara itu, konsumen tahu persis apa yang mereka beli. Ada label jelas: E10, E20, E85. Transparan. Sementara di sini? Senyap. Kita tahu bukan dari papan SPBU, tapi dari ribut-ribut impor yang ketahuan di tengah jalan.

Masalahnya bukan sekadar etanol ada atau tidak ada. Masalahnya adalah keterbukaan. Publik punya hak tahu apa yang mereka masukkan ke tangki kendaraan, apalagi jika ada risiko teknis pada mesin jangka panjang.

Apakah Pertamax yang belakangan dikeluhkan pengguna ada hubungannya dengan etanol? Pertanyaan ini dibiarkan menggantung di udara.

Editorial ini tidak anti-etanol. Justru bagus kalau ada inovasi energi yang lebih ramah lingkungan. Tapi semua itu harus transparan. Jangan sampai konsumen jadi kelinci percobaan tanpa sadar.

Kalau Pertamina mau membandingkan diri dengan Amerika atau Brasil, silakan. Tapi jangan setengah-setengah. Di sana etanol dijual dengan label jelas, konsumen bisa memilih.

Jadi, kenapa di Indonesia konsumen harus main tebak-tebakan?

Transparansi seharusnya bukan bonus, tapi kewajiban. Tanpa itu, Pertamina bisa saja terus bersembunyi di balik istilah “praktik wajar”. Padahal yang benar-benar wajar justru adalah hak konsumen tahu isi tangkinya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *