Negara Membayar untuk Rakyat, Narasi yang Menyesatkan

Ilustrasi (foto: inet)

RAPAT kerja Komisi XI DPR RI, pekan lalu, sempat diwarnai silang pendapat antara Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Bahlil menuding Purbaya salah membaca data soal harga elpiji 3 kilogram, sementara Purbaya balik menyindir bahwa subsidi energi selama ini lebih banyak dinikmati orang kaya.

“Pertengkaran” dua menteri itu sesungguhnya membuka tabir lama: cara pemerintah membungkus isu subsidi dengan retorika, seolah-olah negara sedang berkorban demi rakyat. Sebuah narasi yang terdengar indah, padahal pengaburan fakta.

Pernyataan pejabat pemerintah, termasuk Menteri Keuangan, bahwa “negara memberi keringanan agar rakyat menikmati harga BBM murah” terdengar manis di telinga. Namun, jika ditelisik lebih jauh, klaim itu menyesatkan.

Baca juga: Bantah Harga Asli LPG 3 Kg, Bahlil Sebut Purbaya Salah Baca Data

Negara tidak pernah benar-benar “membayar” untuk rakyat. Anggaran yang digunakan untuk menalangi subsidi adalah uang rakyat sendiri, baik melalui pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kekayaan alam yang pada hakikatnya juga milik publik.

APBN bukanlah kantong pribadi pejabat, melainkan tabungan kolektif bangsa. Sekitar 70 persen penerimaan negara berasal dari pajak—kontribusi langsung rakyat dari setiap rupiah penghasilan, transaksi, hingga konsumsi. Sisanya berasal dari PNBP, misalnya dividen BUMN, royalti tambang, dan hasil hutan, yang juga tak lain bersumber dari pemanfaatan kekayaan rakyat. Artinya, setiap rupiah subsidi BBM yang digembar-gemborkan sebagai “keringanan dari negara” hanyalah hasil pengelolaan uang rakyat yang dikembalikan dalam bentuk belanja publik.

Baca juga: Listrik dan BBM; Dua Hal yang Masih Menyiksa Rakyat Aceh

Fakta anggaran memperjelas hal ini. Pada 2022, pemerintah mengalokasikan Rp 502 triliun untuk subsidi energi akibat lonjakan harga minyak dunia. Tahun 2023, realisasi subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 552 triliun. Sementara pada 2024, meski harga minyak relatif stabil, belanja subsidi energi masih menembus Rp 177 triliun.

Angka-angka ini menunjukkan betapa besar uang publik yang digunakan, dan betapa mudahnya pemerintah menampilkan diri sebagai “dermawan” padahal sekadar mengatur ulang dompet rakyat.

Lebih parah, subsidi energi selama ini kerap tidak tepat sasaran. Kajian Kementerian Keuangan sendiri menyebutkan sebagian besar justru dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang lebih banyak menggunakan BBM bersubsidi. Artinya, uang rakyat miskin pun ikut mengalir untuk mensubsidi konsumsi kelompok mampu.

Dengan demikian, narasi bahwa negara “menanggung beban” adalah retorika politik yang mengaburkan realitas fiskal. Pemerintah seolah tampil sebagai pahlawan yang rela berkorban demi rakyat, padahal faktanya hanya mengutak-atik uang masyarakat.

Pemerintah tidak layak membungkus subsidi dengan klaim heroik. Yang lebih penting adalah transparansi dan kejujuran—dari mana dana berasal, siapa yang benar-benar mendapat manfaat, dan apa konsekuensinya bagi fiskal negara. Tanpa itu, jargon “negara membayar untuk rakyat” hanyalah ilusi yang menutupi fakta: rakyatlah yang selama ini membayar untuk dirinya sendiri, sementara pemerintah sekadar numpang populer.

Dalam demokrasi, kejujuran fiskal adalah ukuran moralitas kekuasaan. Pemerintah tidak boleh menipu rakyat dengan retorika manis, seakan-akan belas kasih negara yang membuat BBM murah.

Yang sesungguhnya terjadi: uang rakyat diputar kembali, lalu dikemas dengan narasi heroik untuk mengangkat citra penguasa. Jika hal ini terus dibiarkan, rakyat hanya akan menjadi penonton yang membayar tiket pertunjukan, sementara pemerintah menikmati tepuk tangan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *