Pergubkan Saja Larangan Plat BL di Sumut

Larangan penggunaan plat BL di Sumut (foto KabarAktual.id/dibuat menggunakan ChatGPT)

KISRUH soal kendaraan berpelat BL (Aceh) di wilayah Sumatera Utara bukan lagi sekadar isu kecil. Ia berulang, menimbulkan keresahan, bahkan kerap mencoreng wajah penegakan hukum di mata publik.

Ketidakjelasan aturan telah membuka ruang bagi praktik pungutan liar, pemerasan, hingga perlakuan tidak pantas terhadap warga Aceh yang melintas di Sumut. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, tidak bisa terus membiarkan masalah ini bergulir tanpa kepastian.

Jika memang ada persoalan administratif terkait kendaraan luar daerah, maka solusinya adalah regulasi resmi. Bentuknya bisa Peraturan Gubernur (Pergub) atau, bila perlu, Peraturan Daerah (Perda).

Baca juga: Dulu Dilakukan Preman, Kini Gubernur Bobby Terjun Langsung Sweeping Mobil Plat BL

Dengan regulasi, aparat di lapangan punya dasar hukum yang jelas, sementara masyarakat juga tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Tanpa aturan, praktik ilegal subur berkembang.

Sudah banyak laporan sopir asal Aceh yang dihentikan di jalan-jalan Sumut dan dipaksa membayar “uang damai” dengan dalih surat-surat tidak lengkap. Nominalnya bervariasi, Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu, padahal dokumen kendaraan sah secara hukum. Tak jarang, sopir terpaksa mengambil jalur alternatif lebih jauh demi menghindari razia semacam itu.

Baca juga: Setelah Blunder, Pemprov Sumut Klarifikasi Soal Sweeping Plat BL

Kasus yang lebih memalukan bahkan pernah terjadi di Medan. Seorang oknum polisi meludahi wajah pengendara berpelat BL hanya karena berbeda asal kendaraan. Video kejadian itu viral dan memicu kecaman luas. Peristiwa ini bukan hanya soal etika aparat, melainkan bukti nyata betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi warga ketika aturan kabur.

Pentingnya kepastian

Kepastian hukum sangat dibutuhkan. Dengan regulasi resmi, aparat punya pijakan, masyarakat punya kepastian, dan praktik ilegal bisa ditekan. Regulasi juga penting untuk mengatur mekanisme mutasi kendaraan dan pembayaran pajak agar tidak menimbulkan kerugian daerah.

Data BPS menunjukkan jumlah kendaraan di Sumut mencapai ratusan ribu unit, sementara di Aceh jumlahnya ratusan ribu juga. Angka sebesar ini tentu membuat mobilitas lintas provinsi tak terhindarkan.

Ribuan kendaraan BL setiap bulan melintas ke Sumut, baik untuk perdagangan maupun perjalanan pribadi. Tanpa aturan yang jelas, gesekan di lapangan akan terus berulang.

Regulasi (seperti Pergub) yang ideal harus memuat tiga hal utama.

Pertama, ruang lingkup yang jelas: apa yang menjadi kewajiban pemilik kendaraan luar daerah, apa pula hak mereka ketika melintas.

Kedua, prosedur pemeriksaan yang transparan: hanya di pos resmi, dengan petugas yang berwenang, dan mekanisme sanksi yang proporsional.

Ketiga, larangan keras bagi pungutan liar, disertai jalur pengaduan yang mudah diakses masyarakat.

Editorial ini berpandangan sederhana: lebih baik ada aturan yang jelas daripada membiarkan rakyat terombang-ambing menghadapi ketidakpastian. Pergub bukan untuk melarang masyarakat Aceh hadir di Sumut, melainkan memberi kepastian hukum agar tidak ada lagi ruang bagi pungli, pemerasan, dan diskriminasi.

Gubernur Bobby Nasution perlu segera bertindak. Membiarkan masalah ini berlarut hanya akan menimbulkan luka sosial antara dua provinsi bertetangga. Padahal, Sumut dan Aceh semestinya membangun kerja sama dan saling mendukung, bukan memperlebar sekat karena persoalan sepele bernama pelat kendaraan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *