Mabuk Mutasi; “Abeh Batre bak Peubulat-bulat Sente”

Ilustrasi seleksi calon pejabat (foto: KabarAktual.id/ChatGPT)

“Abeh batre bak peubulat-bulat sente,” kata Abu Doto (sapaan akrab mantan Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah) suatu ketika.

Sindiran bijak dalam tradisi masyarakat Aceh itu menggambarkan perilaku boros dan tidak efisien. Secara harfiah mengandung makna bahwa daya baterai terbuang percuma gara-gara si pemilik sibuk mengutak-atik senter.

Metafora ini tepat sekali untuk menggambarkan sebuah fenomena yang kerap kita saksikan: pemborosan energi birokrasi pada drama politik yang tidak substansial.

Apa esensi dari birokrasi? Ia adalah pelayan publik, mesin pelayanan yang seharusnya digerakkan oleh roda-roda prosedur yang jelas dan profesional. Suara publik adalah komandonya, dan kepentingan masyarakat adalah tujuan akhirnya.

Baca juga: “Putra Mahkota” Lulus 3 Besar JPT Aceh

Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, birokrasi justru sering dijadikan objek politik, alat untuk pamer kekuasaan, atau panggung bagi drama-drama yang justru menjauhkannya dari tugas utama.

Kita harus menegaskan kembali posisi perangkat birokrasi. Mulai dari eselon tertinggi hingga Pegawai Negeri Sipil golongan terendah, fungsi mereka adalah bekerja sesuai bidang tugas dan keahliannya. Mereka harus fokus pada substansi: menyusun kebijakan yang tepat sasaran, memberikan pelayanan yang cepat dan adil, serta menjalankan program pembangunan yang berkelanjutan.

Baca juga: Intat Linto JPT

Energi mereka tidak boleh terkuras untuk memenuhi hasrat politisi yang ingin memamerkan proses-proses yang seharusnya menjadi rahasia internal, seperti komposisi panitia seleksi atau proses administratif yang berbelit-belit. Masyarakat tidak perlu tahu “panitia seleksi telah bekerja keras”; masyarakat butuh hasil akhir berupa pejabat yang kompeten dan kebijakan yang dirasakan manfaatnya.

Kemudian, untuk memahami bagaimana birokrasi seharusnya bekerja, kita bisa menengok contoh negara-negara dengan tata kelola yang sehat. Singapura, misalnya, terkenal dengan efisiensi dan integritas birokrasinya. Rekrutmen dan promosi pejabat didasarkan pada meritokrasi murni—kompetensi dan kinerja terdahulu. Hasil kerja birokrasi diukur dari output yang dirasakan publik, bukan dari seberapa sering prosesnya diangkat ke media.

Begitu pula dengan Selandia Baru, yang menerapkan sistem akuntabilitas tinggi di mana birokrat bertanggung jawab penuh atas outcome dari kebijakan mereka. Di sana, birokrasi adalah “tukang” yang ahli, bukan “pemain drama” yang mencari panggung.

Berikutnya, dan ini yang paling menggelitik, adalah absurditas dari drama panitia seleksi (pansel) yang kerap terjadi. Realitanya, pejabat yang dihasilkan dari berbagai pansel belakangan ini seringkali adalah orang-orang yang sama, hasil dari “tim ponsel” atau lingkaran dalam yang telah lama berkuasa. Jika hasil kerja mereka selama ini dinilai buruk atau mengecewakan oleh publik, lalu apa logika di balik mempromosikan mereka kembali melalui sebuah drama pansel yang terkesan ketat?

Praktik seperti ini justru menguatkan kesan bahwa kerja pansel itu tidak lebih dari sekadar sandiwara yang tidak lucu—sebuah pemborosan “batre” yang sia-sia untuk memberi legitimasi pada keputusan yang sudah ditentukan dari awal.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menghentikan budaya “abeh batre bak peubulat-bulat sente” dalam birokrasi Aceh. Kembalikan birokrasi pada khittahnya sebagai pelayan publik yang profesional. Hargai masyarakat dengan menunjukkan hasil kerja nyata, bukan dengan memamerkan proses-proses tetek bengek yang tidak penting.

Publik sudah lelah dengan drama. Yang mereka butuhkan adalah pelayanan, kebijakan yang solutif, dan bukti nyata bahwa birokrasi hadir untuk memudahkan, bukan mempersulit; untuk membangun, bukan berteater.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *