Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, dalam pernyataan resminya mengatakan, pelanggaran terhadap Surat Edaran Gubernur adalah bentuk pengkhianatan terhadap visi “Aceh Bermartabat.” Sebuah pernyataan yang kuat, namun justru membuka ruang refleksi.
Siapa sesungguhnya yang mengkhianati nilai-nilai itu? Apakah semata-mata pihak sekolah yang memungut, ataukah sistem birokrasi pendidikan kita yang belum cukup kokoh menegakkan integritas secara menyeluruh?
Zona Integritas (ZI) sejatinya bukan sekadar kampanye atau simbol formalitas administratif. Ia menuntut keseriusan dan konsistensi, terlebih dalam konteks pelayanan publik seperti pendidikan. Ketika masih ditemukan praktik pungutan dengan nilai jutaan hingga belasan juta rupiah di sejumlah SMA dan SMK, termasuk sekolah unggulan, maka publik wajar mempertanyakan sejauh mana komitmen tersebut benar-benar dijalankan, bukan sekadar dipublikasikan.
Langkah-langkah seperti membentuk tim investigasi dan menyurati APIP adalah bagian dari prosedur yang memang diperlukan. Namun, publik tentu berharap lebih dari sekadar langkah normatif. Integritas, jika benar-benar dijadikan sebagai budaya, seharusnya tidak membutuhkan pengulangan peringatan setiap tahun. Ketegasan, transparansi, dan keteladanan perlu diperlihatkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar disampaikan lewat pernyataan tertulis.
Jika memang ditemukan pelanggaran, maka perlu ada penegakan sanksi yang jelas, terbuka, dan konsisten. Tidak cukup hanya menegur atau mengimbau pengembalian dana, perlu ada langkah disipliner yang mampu memberikan efek jera dan memperbaiki marwah institusi.
Sebaliknya, jika pelanggaran ini bersifat sistemik dan berulang, maka sebagai pemegang komando tertinggi di Dinas Pendidikan, Kepala Dinas tidak bisa hanya berdiri di balik prosedur. Ia dituntut untuk memperlihatkan moral leadership yaitu kemampuan untuk memikul tanggung jawab secara utuh, termasuk jika diperlukan mengambil langkah berani dan terhormat.
Sebab, integritas bukan hanya soal memberantas praktik menyimpang, tapi juga tentang memberi contoh. Dan dalam konteks krisis kepercayaan publik, terkadang keteladanan terbaik dari seorang pemimpin adalah dengan meletakkan jabatan secara elegan, jika ia merasa tidak lagi mampu memastikan tegaknya nilai-nilai yang ia perjuangkan.
Bukan karena tekanan, tapi karena kesadaran “Moralitas tertinggi dari pemimpin yang gagal mewujudkan visinya adalah dengan meletakkan jabatannya” karena sesungguhnya jabatan adalah amanah, bukan perlindungan.
Semoga Zona Integritas yang dikampanyekan benar-benar menjadi cermin dari integritas internal. Bukan sekadar label, melainkan fondasi dari sistem pendidikan yang layak dipercaya dan dihormati.[]
:: Ramadhan Al Faruq adalah Alumni IAIN Ar-Raniry dan Juga Jubir Kaukus Paduli Integritas Pendidikan Aceh