DI ERA konflik, banyak bermunculan cuak atau pengkhianat. Sebut saja satu sosok bernama Ismail alias Raja yang diperalat oleh “penguasa” untuk melakukan berbagai perbuatan sadis terhadap masyarakat Aceh di Rumoh Geudong beberapa tahun silam.
Asli Aceh ini, dikabarkan, tidak punya perikemanusiaan sedikit pun. Dia tega berbuat sadis dan keji, bahkan, terhadap orangtuanya sendiri.
Apakah setelah konflik usai, cuak akan hilang dari Aceh yang sering disebut bumo teuleubeh? Sudah pasti tidak.
Dimana-mana mereka masih tetap ada. Dalam dunia politik, di tubuh birokrasi, juga dalam masyarakat, mentalitas cuak bebas bergentayangan. Mereka bisa berada dalam berbagai macam profesi, tak terkecuali di celah-celah barisan kaum intelek sekali pun.
Cuak bisa juga tampil dalam wujud lain. Misalnya, menjadi makelar aksi demo. Praktek mereka tidak jauh-jauh berbeda dengan perilaku cuak. Pasti seputar menjilat dan menjelek-jelekkan pihak lainnya.
Coba simak dialog antara seseorang berinisial FF dengan Nazarullah ketua Umum Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta di sela-sela aksi demo menolak perpanjangan jabatan Pj Gubernur Achmad Marzuki di halaman gedung DPRA, Jumat lalu.
Menyimak penuturan Nazar, boleh disimpulkan, FF punya kedekatan dengan penguasa. Dia berani mendesak IMPAS agar tidak melakukan aksi demo. Tidak hanya itu, FF juga mengiming-imingi Nazar untuk bertemu Pj gubernur. “Jangan ada gerakan. Sebenarnya Nazar maunya apa, ketemu sama Pj? Kalau betul, ayolah kita ketemu dulu,” begitu tawaran yang diberikan.
Peran FF memang tak beda dengan makelar. Dia dengan berani hendak menghentikan aksi demo yang dinilai mengganggu Achmad Marzuki. “”Dia bilang ke saya, jangan ada gerakan,” kata ketua IMPAS.
Mungkin FF tidak sendirian melakoni “bisnis makelar” demo. Jika dicermati, terdapat sejumlah sosok yang sudah memilih pekerjaan koordinator aksi sebagai profesi.
Jika mau agak usil, coba sediakan sedikit waktu untuk mencermati nama yang sering muncul di selebaran atau pemberitahuan aksi demo. Pasti ada nama tertentu yang tercatat sebagai korlap berbagai aksi demo.
Di kalangan aktivis, fenomena ini bukan hal baru. Sebab, di daerah lain juga sering bermunculan pasukan nasi bungkus, istilah lain untuk peserta aksi demo bayaran.
Di Aceh lebih runyam lagi. Disebut-sebut, ada “korlap demo” yang diam-diam direkrut menjadi tenaga kontrak di instansi tertentu. Jika dugaan ini benar, amat sangat disayangkan. Birokrasi Aceh sudah ditukangi oleh oknum mafia.
Sayup-sayup memang berhembus isu, bahwa aksi demo mendukung perpanjangan jabatan Pj Gubernur Achmad Marzuki disponsori oknum pejabat tertentu. Sinyalemen itu bertambah kuat setelah diketahui sejumlah sosok yang bergentayangan di halaman gedung DPRA saat aksi demo berlangsung memang tercatat sebagai tenaga kontrak di Dinas tertentu.[]