KEPEMIMPINAN Presiden Prabowo Subianto ibarat sebuah gerbong tua yang sarat muatan. Sebagian anggota kabinetnya, bukan hanya memiliki jumlah umur yang sudah banyak, tapi juga sosok yang tidak terlihat berprestasi saat bekerja dengan Jokowi.
Ibarat onderdil, mereka sudah pada lelah dimakan usia sehingga sulit untuk diajak berlari kencang.
Jumlah anggota kabinet yang terlalu banyak adalah masalah utama di dalam gerbong tua itu. Fakta ini menjadi kontraproduktif dengan kenyataan bahwa Indonesia sedang menghadapi permasalahan akut krisis anggaran.
Kabinet gemuk dan krisis anggaran adalah dua hal yang sangat bertolak belakang. Sementara di sisi lain, pemerintah gencar memotong anggaran dengan judul efisiensi di kantor-kantor yang dipimpin oleh para menteri yang dipertahankan itu.
Kenapa hanya anggarannya yang dipotong, bukan masalah utama yang dihilangkan? Jumlah lembaga dan pejabat yang terlalu banyak itu juga menyerap APBN yang terlalu besar.
Dengan asumsi penerimaan negara yang begitu-begitu saja, beban pengeluaran bertambah besar akibat membengkaknya jumlah lembaga dan pejabatnya. Sementara kebocoran di berbagai sektor seperti pertambangan dan lain-lain belum tertangani dengan maksimal akibat kinerja lembaga penegakan hukum, terutama KPK, yang masih dipertanyakan publik. Masyarakat masih merasakan aroma tebang pilih, misalnya.
Kebijakan efisien anggaran seperti dikritik banyak pihak akan menjadi pisau bermata dua. Pada satu sisi akan mengganggu kinerja pemerintahan yang gemuk tadi dan sekaligus memberi dampak buruk bagi rakyat.
Contohnya saja, biaya pemeliharaan infrastruktur ekonomi seperti jalan dan irigasi bisa berakibat menurunnya angka produksi. Sementara presiden tetap mempertahankan formasi kabinet gemuk yang belum tentu linear dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Jangan sampai semua hanya gimik. Rakyat mencatat, terlalu banyak janji yang belum menjadi kenyataan, selain makan siang gratis yang mengorbanan banyak program lainnya.
Kalau memang serius tidak ingin membebani rakyat, dengarkan suara mereka. Menteri-menteri yang kebijakannya hanya menyusahkan, diistirihatkan saja. Kalau tidak, berarti benar dugaan publik, bahwa mereka adalah titipan masa lalu.
Kebijakan yang sentralistik seperti itu pada akhirnya hanya akan mengorbankan rakyat. Daerah menjerit akibat kekurangan anggaran.
Ujung-ujungnya pasti menimbulkan berbagai dampak buruk. Yang dikhawairkan terjadi peningkatan angka pengangguran massal yang berpotensi menimbulkan lonjakan angka kemiskinan dan kriminilatas di banyak daerah.
Tidak perlu mengancam akan mencopot mereka yang tidak bekerja untuk rakyat. Toh mereka tidak membuat lamaran untuk menjadi menteri. Presiden yang memilih sendiri. Kalau tidak becus, ya ganti !
Kalau hanya omon-omon, mana bisa!”
reshuffle omon-omon
kabinet gemuk
pemerintahan Prabowo