BELUM pernah terjadi sebelumnya. Daftar alokasi anggaran pokok pikiran (Pokir) — dulu dikenal dengan istilah dana aspirasi — anggota DPRA terungkap ke publik. Selama ini, bertahun-tahun, dokumen itu menjadi rahasia yang dikunci rapat oleh anggota Dewan pemilik pokir dan SKPA yang menjadi alamat tempat disematkannya anggaran.
Sangat rapi. Selama ini, publik — bahkan mungkin juga pihak auditor — tidak akan bisa mengendus dimana bersemayamnya dana pokir. Sebab, anggaran yang di-remote anggota DPRA dari gedung megah di Jalan Mohd Daud Beureueh itu “menyamar” dalam bentuk berbagai kegiatan SKPA. Ibarat perang gerilya pasukan GAM tempo dulu, ia menyatu dengan rakyat. Pokir demikian juga. Ia menjelma bereinkarnasi ke dalam kegiatan murni SKPA.
Jadi, ketika ada pertanyaan pihak luar yang meminta klarifikasi tentang dana pokir, oknum pejabat SKPA dengan gagah perkasa menjawab tidak ada dana pokir di instansinya. “Semua anggaran di kantor ini murni kegiatan SKPA,” begitu oknum pejabat menjaga rahasia bersama.
Secara eksplisit memang tidak tertulis di dalam dokumen anggaran ada label pokir. Selain menyalahi regulasi dalam penulisan nomenklatur kegiatan, jika pun dimungkinkan, penulisan secara eksplisit pasti akan sangat dihindari. Karena, hal itu pasti akan menimbulkan berbagai kerumitan.
Meskipun, dalam prakteknya berbagai daftar nama kegiatan SKPA itu sudah disusupkan ke dalam berbagai agenda. Tidak jarang, kegiatan yang dipaksakan masuk ke SKPA merupakan nomenklatur copy paste tahun-tahun sebelumnya.
Makanya tidak heran kenapa, misalnya, kemudian sering muncul kegiatan-kegiatan semacam penimbunan halaman sekolah, pemasangan paving blok, rehab ini itu, dan semacamnya, berulang-ulang.
Fenomena itu terjadi lantaran oknum anggota Dewan sering kehabisan ide dalam mencari nomenklatur baru guna menghabiskan slot anggaran pokir jatahnya. Karena faktor tertentu — mungkin keterbatasan pengetahuan — ada kalanya pihak luar diminta bantu mencarikan nomenklatur untuk dimasukkan ke SKPA.
Memang rapi sekali. Yang sudah-sudah, ketika program/kegiatan SKPA mulai dilaksanakan, anggota Dewan juga tidak terlihat bergentayangan di kantor-kantor Dinas. Mustahil itu terjadi. Jadi, tidak mungkin KPK bisa melakukan tangkap tangan. Karena, anggota Dewan memang tidak ada di sana.
Siapa juga yang mengawal pokir mereka di berbagai SKPA. Di sinilah canggihnya. Mereka punya skema kerja yang rapi. Laksana artis yang punya manajer, mereka menggunakan tenaga lain yang biasa disebut koordinator lapangan (korlap).
Seperti dalam kasus dugaan korupsi beasiswa yang sedang diusut Polda Aceh, penegak hukum mustahil menangkap pemilik dana pokir. Karena, yang bermain di lapangan adalah korlap. Yang menerima jatah fee juga korlap.
Setali tiga uang dengan kasus beasiswa, proyek lainnya dengan embel-embel pokir pun teknisnya sama. Pelaksanaannya di-remote dari jarak jauh.
Apakah ada yang salah dengan “budaya” pokir yang sedang dimainkan DPRA? Secara teori, tidak! Karena argumentasi ilmiahnya mereka memperjuangkan aspirasi konstituen, rakyat yang diwakili. Tapi, dalam prakteknya belum tentu.
Jika anggota legislatif benar-benar punya hati nurani ingin mengangkat Aceh dari keterpurukan, mereka seharusnya tidak berlomba untuk memperbesar jumlah alokasi dana pokir. Tapi, benar-benar memperjuangkan aspirasi yang diterima dari konstituen untuk diprogramkan dalam kegiatan-kegiatan di SKPA. Bukan menjadi penguasa anggaran!
Sudah menjadi rahasia umum. Oknum-oknum anggota Dewan berlomba mendapatkan kedudukan/jabatan karena melirik besaran “jatah” alokasi pokir. Sehingga, yang terjadi kemudian adalah dana pokir bukan lagi bertujuan menyahuti permasalahan di masyarakat, tapi bagi-bagi jatah anggaran.
Makanya tidak heran, ketika mereka sudah mendapatkan alokasi dalam jumlah yang terlalu besar, ada yang bingung tidak tahu harus menghabiskan untuk apa. Ibarat pepatah Bahasa Aceh: buya tambue, ek peureubah han ek bahu.”
Dengan fenomena yang ada, jangan harap angka kemiskinan di Aceh akan turun. Dana pokir — menurut bocoran draft itu — Rp 1,5 triliun itu sangat besar kemungkinannya melenceng dari sasaran. Kenapa? Karena penempatan dana itu di berbagai SKPA tidak semua berdasarkan analisis yang benar, tapi lebih karena tekanan politik. Yang sudah-sudah mana ada kepala SKPA, bahkan ketua TAPA, yang berani melawan lembaga DPRA?
SKPA juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya jadi kambing congek yang dengan segala keterpaksaan harus melayani “”libido kekuasaan”” oknum anggota Dewan dalam menguasai dana pokir. Mereka hanya bisa tanda tangan saja, tapi semuanya sudah diatur dari sana, dari gedung sebelah.
Tidak jarang, mereka harus berhadapan dengan risiko. Nomenklaturnya kegiatan SKPA, tapi semua di-remote dari jauh. Program-program yang dibiayai dengan dana pokir seperti siluman. Pemiliknya ada tapi tak kelihatan.[]