Geli Melihat Para Pj

Acara temu ramah Pj Bupati Bireuen, Aulia Sofyan, dengan wartawan, Senin 19 September 2022 (foto: dok Ist)

Aceh dengan seluruh kabupaten/kotanya, seperti juga banyak daerah lain di Indonesia, sedang dipimpin oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Ada yang didrop dari Pusat, ada pula SDM tempatan.

Meski beda tempat asal, tapi statusnya tetap sama; mereka sama-sama ditunjuk. Mereka ditugaskan oleh Mendagri. Bukan pilihan rakyat.

Kenapa seseorang bisa dipilih dan mendapatkan posisi empuk kursi jabatan kepala daerah? Apakah karena mereka cerdas dan mumpuni dalam memimpin? Jawabannya pasti: Tidak! 

Bisa dipastikan, mereka bukan orang-orang hebat. Biasa saja. Bahkan, kemampuan mereka mungkin di bawah standar. Kenapa bisa demikian?

Mudah saja jawabannya. Karena penetapan seorang Pj tidak melalui seleksi yang menguji kecerdasan, atau minimal portopolio. Mereka diambil dengan pola main comot saja. Hanya bermodal selembar rekomendasi dari lembaga legislatif.

Yang ini pun, kemudian, mulai memunculkan sisi negatif dengan terungkapnya dugaan “praktek curang” di Nagan Raya. Katanya, ada permainan uang pada proses mendapatkan surat rekomendasi calon Pj dari DPRK.

Tak bisa dielakkan. Seperti yang terungkap di Nagan Raya, proses penunjukan Pj akhirnya memang memunculkan hal-hal yang berbau kontraproduktif. Kehadiran mereka dirasakan tidak banyak membantu, bahkan mungkin juga berpotensi menimbulkan masalah baru. Contohnya, perilaku oknum brikorat di Aceh Barat yang mewajibkan wartawan membuat surat jika ingin melakukan konfirmasi kepada Pj bupati.

Kenapa gejala aneh ini baru terjadi sekarang, ketika Aceh Barat dimpimpin Pj? Meski hal itu belum tentu kebijakan Pj bupati, publik dengan mudah bisa menyimpulkan, seorang bawahan tidak berani mengambil tindakan melewati batas kewenangan tanpa lampu hijau dari atas.

Baiklah. Proses penunjukan seorang Pj dengan dugaan permainan uang biarlah itu menjadi urusan penegak hukum. Itu pun kalau didukung bukti dan ada upaya untuk mengungkapkannya. Itu sebuah wilayah di luar kewenangan publik.

Yang perlu menjadi perhatian sekarang adalah kehadiran para Pj di tengah-tengah masyarakat yang “dipimpinnya”. Bergunakah mereka? Ini pertanyaan pentingnya.

Ada fenomena menarik selama sekitar satu hingga empat bulan para Pj melaksanakan tugas. Tepatnya menduduki posisi penjabat gubernur dan bupati atau wali kota. Dengan penampilan gagah “bruek kreung” di saku baju kebesaran, tentunya.

Fenomena pertama, para Pj terkesan miskin ide. Mereka cenderung melakukan kegiatan copy paste.
Kalau kita amati pidato Pj gubernur saat melantik beberapa Pj bupati/walikota, Achmad Marzuki selalu mengcopy paste isi pidato Mendagri ketika melantiknya, Juli silam. Kalimat “agar membangun komunikasi dengan lintas stakeholder”, koordinasi program dengan Pusat dan provinsi, selalu diulang dengan redaksi yang sama. Pada bagian berikutnya, dia pasti mengingatkan tentang pembinaan UMKM, pengendalian Covid-19, dan realisasi anggaran.

Tidak salah, memang. Tapi di situ terlihat betul, Pj miskin kreasi. Kering ide.

Celakanya, gaya Achmad Marzuki langsung dicopy paste mentah-mentah oleh Pj Wali Kota Banda Aceh. Dia meniru agenda Pj Gubernur Achmad Marzuki yang melakukan pertemuan coffe morning dengan wartawan.

Agenda serupa dicopy paste menyeluruh hampir oleh semua Pj bupati/wali kota. Lagi-lagi, acara “tambah gizi” ini juga pasti disukai oleh sejumlah awak media.

Yang disayangkan, kegiatan copy paste itu hanya sebatas “seremoni”. Tidak punya efek positif yang berarti bagi masyarakat. Tidak ada perubahan yang substantif terjadi setelah itu.

Yang agak berbeda dilakukan oleh Pj Bupati Aceh Barat Daya (Abdya) Darmansah. Kepala Sekretariat MAA itu berinisiatif melakukan penertiban aset daerah. Dia kemudian menggelar apel, menandakan begitu seriusnya perhatian dalam menjaga harta negara.

Beberapa hari kemudian, ide Darmansah dicopy paste oleh tetangganya, Nagan Raya. Dalam balutan uniform kebesaran, Pj Bupati Fitriany Farhas, juga menggelar apel penertiban aset.
Begitulah kenyatannya. Belum terlihat ide kreatif para Pj dalam memimpin daerahnya.

Menjadi pertanyaan sekarang, mereka hadir ke sana untuk apa? Apakah hanya sekedar untuk mendapatkan fasilitas jabatan dan prestise sebagai penjabat kepala daerah dan dengan itu bisa berbagi cerita bangga ketika bertemu para kolega?

Fenomena copy paste dan gejala miskin ide para Pj menimbulkan rasa geli. Mestinya, mereka tidak membuat menyesal pihak-pihak yang telah memberinya kepercayaan, kehormatan, dan prestise yang tinggi. Harus dirasakan berguna oleh masyarakat !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *