PEMBERHENTIAN Taqwallah dari jabatan Sekda Aceh bukan peristiwa biasa. Hal itu menandai berakhirnya era otoritarian dalam tubuh birokrasi Aceh.
Selama berkuasa, Taqwallah bersama Gubernur Nova Iriansyah, telah jadi momok bagi mayoritas ASN daerah ini. Pola kerjanya ugal-ugalan; tak kenal waktu. Bahkan, tidak jarang, hari libur ASN pun disita.
Pernah kejadian di daerah. Pegawai dan tenaga kontrak tidak punya waktu lagi untuk keluarga. Karena Sabtu dan Minggu pun harus di kantor. Bergotong royong.
Bos pada salah satu unit kerja Pemerintah Aceh ketakutan. Takut kapan-kapan kena sidak program BEREH. Akibatnya, dia tekan anak buah agar kerja “rodi”, tak peduli hari libur.
Masih ingat beberapa ancaman Taqwallah?
Meski tak tertulis — mungkin ini salah satu kiatnya menciptakan alibi — para tenaga kontrak dipaksa untuk donor darah. Jika tidak, perpanjangan masa kontrak jadi taruhan. Taqwallah mengontrolnya lewat nomor register khusus.
Sekolah-sekolah jenjang SMA dan SMK di bawah pengelolaan Dinas Pendidikan Aceh, pun tidak luput dari ancaman.
Mereka yang tidak menyukseskan program vaksinasi siswa diancam akan disetop dana BOS. “Saya punya banyak simpang. Bisa dana BOS, kenaikan pangkat, dan banyak lagi,” ujarnya suatu pagi usai acara doa bersama, mengisyaratkan ancaman.
Terakhir, yang juga cukup menghebohkan, Taqwallah memaksa seluruh SKPA untuk menyukseskan program sosialisasi Gerakan Immunisasi dan Stunting Aceh (GISA). Tidak mau tahu, SKPA yang tak punya anggaran pun tetap harus ikut.
Maka, kemudian seluruh mobil dinas wajib pasang stiker GISA.
Seperti biasa, sudah ada lembar pantau “”merah kuning hijau”” untuk melihat siapa yang patuh, siapa yang membangkang.
Tentu saja tak ada yang berani melawan.
Para pejabat mulai kepala SKPA, para Kabid, Kasi dan staf, diperintah agar turun ke kabupaten/kota. Mereka harus melakukan sosialisasi GISA. Tidak peduli, paham atau tidak soal kesehatan!
Para ASN, di luar barisan penjilat tentunya, sangat traumatik bekerja di bawah kepemimpinan bergaya otoritarian. Dalam suasana penuh tekanan di bawah bayang-bayang format “merah kuning hijau” mereka tidak sempat memikirkan kualitas.
Apa-apa yang penting hijau. Yang penting tidak dipermalukan dalam forum rapat.
Suasana begitu traumatik.
Makanya, pemecatan Taqwallah dari jabatan Sekda menjadi momentum paling berharga bagi birokrasi Aceh untuk melakukan pembenahan. Meskipun, sosok penggantinya, Bustami Hamzah, belum tentu menjawab ekspektasi publik.
Misalnya, mulai ada suara-suara sumbang yang nyinyir menyebut-nyebut mata angggaran dengan kode appendix pada masa dia menjabat kepala BPKA beberapa waktu lalu.
Terlepas dari itu, saat ini adalah momentum yang tepat bagi birokrasi Aceh di bawah kepemimpinan Pj Gubernur Achmad Marzuki dan Sekda Bustami Hamzah untuk melakukan pembenahan menyeluruh. Ini saat yang tepat untuk meninggalkan pola kerja ugal-ugalan.
Harus diakui, birokrasi Aceh selama beberapa waktu belakangan sangat jauh dari kata ideal. Miskin pengkaderan, abai pada aturan, dan menimbulkan pemborosan alias in-efisiensi.
Berkaca pada itu semua, jika mengacu pada teori dasar organisasi, maka fokus pembenahan harus ditujukan pada tiga hal utama, yaitu terkait dengan man, method, dan money. Dalam bahasa pemerintahan ini terkait dengan sumber daya manusia ASN, perencanaan program, dan anggaran.
Sumber kekacauan ada pada tiga ranah tersebut.
Lihatlah bagaiman pola rekrutmen — terutama — pejabat struktural selama hampir 2 dekade belakangan. Bagaimana semua diakali.
Memang ada mekanisme fit and proper test. Tapi, kata seorang pengamat, hal itu tidak lebih sekedar jadi stempel pembenaran, sebagai ajang justifikasi untuk mencapai seakan-akan apa yang dilakukan sudah benar-benar mencapai asas legitimasi yang benar.
Sebagai contoh, entah atas pertimbangan apa sejumlah dosen direkrut untuk jabatan eselon II. Padahal, faktanya, tidak ada karya yang luar biasa dihasilkan oleh pejabat berlatar belakang dosen selama menjabat.
Ugal-ugalan berikutnya adalah mengesampingkan aspek profesionalisme dalam penempatan personil. Contoh paling fatal, bagaimana seseorang yang sama sekali tidak punya latar belakang mengurus pendidikan sekonyong-konyong diberi tugas sebagai kepala Dinas Pendidikan?
Dalam retorika bicara mutu pendidikan, tapi prakteknya 180 derajat bertolak belakang. Justeru menghancurkan pendidikan. Itulah salah satu tabiat birokrasi selama ini. Hipokrit.
Akibatnya apa? Masyarakat Aceh yang menanggung risiko. SMAN Modal Bangsa yang selama ini merupakan sekolah terbaik, mutunya semakin anjlok. Sekolah terbaik saja bisa melorot, bagaimana lagi nasib sekolah-sekolah di pedalaman? Miris.
Saatnya untuk mengembalikan birokrasi pada jalur yang benar. Merit system. Mulai melakukan penjenjangan karier. Sehingga, tidak ada lagi pejabat lompat pagar atau impor dari dunia entah berantah.
Birokrasi sudah punya mekanisme baku. Sudah punya aturan main yang baik. Tidak perlu lagi melakukan uji coba. Yang ada hanya akan menimbulkan in-efisiensi dan kesia-siaan. Jangan lagi ugal-ugalan![]