Birokrasi Aceh Butuh Restorasi Total Usai “Pak BEREH” Pergi

MAYORITAS pegawai Pemerintah Aceh akhirnya bisa bernapas lega. Hhhmm …. plong.

Seakan-akan paku 5 cm yang selama ini menancap di kepala, lepas sudah. “Hilang rasanya tumpukan beban psikologis yang menghimpit selama bertahun-tahun,” mungkin demikian gumam mereka.

Bekerja dalam suasana tertekan, banyak ancaman, dan intimidasi, begitu menyiksa. Suasana itu, kini, mungkin tiada lagi seiring dengan  lengsernya Taqwallah dari jabatan Sekda Aceh. Pejabat yang, dinilai, bekerja nyaris tanpa pola. Nyaris tak kenal waktu.

Taqwallah yang banyak disindir dengan sebutan Pak BEREH akhirnya diganti atas desakan berbagai pihak, terutama kalangan anggota DPR Aceh. Atas dasar itu, Pj Gubernur Achmad Marzuki, kemudian melayangkan surat kepada Presiden agar mengganti Taqwallah yang acap bikin gaduh.

Berdasarkan SK Nomor I04/TPA Tahun 2022 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh, Presiden Joko Widodo menunjuk Bustami Hamzah SE M.Si sebagai pengganti Taqwallah. Pak Bus — panggilan akrab mantan kepala BPKA ini — dipilih dari dua nama lainnya, yaitu Mohd Tanwier (kepala Disperindag) dan Safuadi (kepala Kanwil Bea dan Cukai) Aceh.

Publik akan mencatat ketegasan Achmad Marzuki mengganti Taqwallah sebagai langkah progresif Pj gubernur dalam menata pemerintahan dan birokrasi Aceh. Sejujurnya, banyak yang meragukan ini sebelumnya. Apakah Achmad Marzuki mau dan akan mengambil pilihan tersebut?

Dalam konteks itu, Achmad Marzuki telah membuktikan ucapannya. Bahwa, ia akan bekerja dengan diam. Seperti pernyataannya di depan awak media, saat menjamu insan pers di Restoran Pendopo pada 13 Juli 2022, bahwa ia akan memberikan hasil. Tanpa banyak retorika.

Untuk kepentingan Aceh yang lebih baik, masyarakat pasti memberikan apresiasi terhadap apa yang telah dilakukan Pj gubernur. Sebuah langkah awal yang baik. Sebab, kinerja birokrasi yang normal, yang dijalankan dengan prinsip good governance tentu akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Narasi itu hilang dalam tatanan birokrasi Aceh selama beberapa waktu belakangan. Seperti pernyataan seorang anggota Dewan, kepemimpinan Taqwallah jauh dari keberpihakan pada program-program prorakyat. “Untuk kepentingan kaum dhuafa sering tidak bunyi,” begitu kalimat seorang wakil rakyat.
Pak BEREH telah pergi. Tapi, masalah belum selesai, Jenderal!

Bapak jangan lupa, para kepala SKPA yang ada hari ini adalah produk warisan pemerintahan masa lalu. Mereka merupakan pilihan Nova Iriansyah, yang terlanjur diberi label sebagai gubernur terburuk sepanjang sejarah Aceh.

Nova memimpin tidak dengan baik-baik saja. Dia menjalankan birokrasi dengan  aura kebencian, dengan aroma dendam kesumat.

Pengganti the real governor Irwandi Yusuf itu dikenal sering melakukan mutasi tanpa mengindahkan aturan merit system. Bahkan dia pernah mengancam akan melakukan mutasi sehari menjelang lengser. Ini kemudian terbukti. Tiga kepala SKPA dilantik sehari menjelang dia meninggalkan pendopo.

Cara-cara kerja penuh pressure dan intimasi telah mengakibatkan  pelayanan birokrasi tidak berjalan profesional. Para kepala SKPA selalu bekerja di bawah tekanan. Lagee tuloe lam reugam (ibarat burung pipit stress berada dalam genggaman manusia) saja.

Jika kemudian timbul banyak masalah, seperti tingginya angka SILPA, kinerja SKPA yang tidak tepat sasaran, dan sebagainya, itu semua disebabkan karena kinerja birokrasi yang tidak sehat.

Di samping itu, sebagian besar kepala SKPA adalah mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, karena berasal dari latar belakang yang tidak relevan. Sekjen Partai Aceh Kamaruddin Abubakar (Abu Razak) pada 8 Juli 2022 pernah menyampaikan, bahwa tiga kepala SKPA perlu segera diganti.

Mereka adalah Kepala Bappeda Ahmad Dadek, Kepala Dinas Pendidikan Alhudri, serta Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Dedi. “Mereka selama ini sama sekali tidak punya prestasi. Yang ada hanya bikin masalah dan membebani kerja pemerintah Aceh,” ujar Abu Razak.

Karena minim kemampuan, akhirnya para kepala SPKA seperti itu tidak tahu harus berbuat apa. Tidak punya kompetensi, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Seperti sektor pendidikan, posisi sekolah-sekolah di Aceh semakin terpuruk, akibat salah urus.

Intinya, Bapak gubernur perlu melakukan penilaian dengan seksama dan lebih mendalam. Sehingga, bisa membersihkan birokrasi Aceh dari oknum-oknum pejabat yang kurang berkualitas, apa lagi mereka yang tidak paham tupoksi.

Birokrasi harus membantu Bapak menyelesaikan berbagai masalah, seperti tingginya angka kemiskinan, jumlah penaggguran yang meningkat, permasalahan kesehatan, rendahnya mutu pendidikan, dan sebagainya. Mereka harus membantu menyelesaikan masalah. Bukan justeru menimbulkan masalah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *