Siapa Spekulan Itu, Pertamina?

Ilustrasi (foto: dok Ist)

PERTAMINA dengan gamblang menunjuk “spekulan” sebagai penyebab antrean panjang elpiji. Sesederhana itu. Seolah persoalan pelik yang menjerat dapur jutaan rumah tangga bisa diringkas dalam satu kata: spekulan.

Padahal, semua orang tahu, bisnis elpiji—terutama gas subsidi 3 kilogram—bukan urusan sembarang orang. Rantai perizinannya berlapis, pengawasannya ketat di atas kertas, dan distribusinya berada di bawah kendali sistem tertutup.

Tidak setiap orang bisa menjadi agen, apalagi pangkalan. Ada seleksi administratif, verifikasi lapangan, kuota, hingga kontrak resmi dengan Pertamina. Di ruang inilah muncul ironi besar itu.

Baca juga: Anomali LPG 3 Kg

Jika urusan elpiji sedemikian ketat, bagaimana mungkin “spekulan” bisa bergerak sebebas itu? Dari mana mereka memperoleh pasokan dalam jumlah besar? Mengapa tabung melon 3 kilogram bisa lenyap dari pangkalan resmi, tetapi justru mudah ditemukan di kios-kios liar dengan harga berlipat?

Pertanyaan ini sederhana, tetapi menohok: siapa sebenarnya spekulan itu? Jangan-jangan, spekulan bukan aktor luar yang asing dari sistem, melainkan justru tumbuh di dalamnya. Dalam bentuk dan rupa yang beragam. Bisa berupa penyimpangan kuota, permainan distribusi, hingga praktik “orang dalam” yang selama ini bersembunyi di balik meja administrasi dan jargon pemulihan pasokan.

Fakta di lapangan berbicara. Di Banda Aceh dan sejumlah daerah lain, masyarakat masih harus mengantre berhari-hari untuk mendapatkan elpiji, meskipun Pertamina menyatakan pasokan mulai membaik. Harga LPG subsidi yang seharusnya dijual sesuai HET Rp18.000 per tabung, justru melonjak hingga dua, bahkan tiga kali lipat di luar pangkalan resmi. Sementara LPG non-subsidi ikut terkerek, dipicu migrasi konsumen akibat kelangkaan si melon hijau.

Baca juga: Pertamina Tuding Spekulan Pemicu Mengularnya Antrean Elpiji di Aceh

Pertamina Patra Niaga menyebut kondisi ini sebagai dampak spekulasi pascagangguan distribusi. Operasi pasar digelar. Koordinasi dengan pemerintah daerah dan aparat ditegaskan. Namun pertanyaan mendasarnya belum terjawab: mengapa kebocoran selalu berulang, dan mengapa pengawasan selalu tertinggal satu langkah di belakang praktik di lapangan?

Data Kementerian ESDM selama ini menunjukkan bahwa persoalan LPG 3 kilogram bukan semata soal pasokan, melainkan soal tata kelola. Salah sasaran penerima, lemahnya pengawasan pangkalan, hingga minimnya sanksi tegas terhadap pelanggaran distribusi menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Dalam situasi krisis atau gangguan distribusi, penyakit itu kambuh lebih parah.

Menyalahkan spekulan tanpa membongkar siapa dan di mana mereka beroperasi, sama saja dengan menutup mata terhadap akar masalah. Publik tidak butuh kambing hitam. Publik butuh kejelasan, ketegasan, dan keberanian membersihkan sistem dari dalam.

Sebab elpiji 3 kilogram bukan sekadar komoditas. Ia adalah simbol kehadiran negara di dapur rakyat kecil.

Ketika tabung itu menghilang dari pangkalan resmi dan muncul di kios liar, yang bocor bukan hanya distribusi, tetapi juga kepercayaan.Jika spekulan benar adanya, maka tugas Pertamina dan negara bukan sekadar menyebut, melainkan menunjuk, menindak, dan menutup celah yang memungkinkan mereka tumbuh.

Jika tidak, publik berhak curiga: jangan-jangan spekulan itu bukan orang luar. Jangan-jangan, “monster” itu lahir dari sistem yang dibiarkan terlalu lama gelap.

Dan jika demikian, menyebut spekulan tanpa bercermin ke dalam, hanya akan membuat antrean kian panjang. Kepercayaan publik pun kian menipis.[]

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *