HAJI Mirwan MS, Bupati Aceh Selatan, seharusnya dengan segala hormat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Moralnya telah cacat.
Keputusan meninggalkan daerah yang sedang dilanda banjir bandang dan longsor demi menunaikan ibadah umrah mencerminkan kegagalan empati serta lemahnya tanggung jawab kepemimpinan di saat rakyat berada dalam kondisi darurat.
Berdasarkan laporan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana banjir dan longsor yang terjadi sejak awal Desember 2025 melanda sejumlah kabupaten di Aceh, termasuk Aceh Selatan, Aceh Singkil, Nagan Raya, dan Aceh Barat Daya. Di Aceh Selatan sendiri, BNPB mencatat ribuan warga terdampak, ratusan rumah mengalami kerusakan berat, serta puluhan fasilitas umum lumpuh. Akses jalan utama di beberapa kecamatan terputus akibat tertimbun material longsor sehingga distribusi bantuan terhambat.
Baca juga: Bupati Mirwan Dipecat, Berangkat Umrah Saat Bencana
Data BPBD Aceh menyebutkan, lebih dari 4.000 warga Aceh Selatan terpaksa mengungsi ke tenda-tenda darurat dan bangunan sekolah. Kondisi di pos pengungsian memprihatinkan. Keterbatasan logistik membuat sebagian warga kekurangan makanan siap saji, air bersih, dan perlengkapan tidur. Beberapa pengungsi terpaksa bertahan dengan selimut seadanya di tengah cuaca lembap.
Lebih tragis, Tim SAR gabungan hingga kini masih melakukan pencarian korban yang tertimbun material longsor. BPBD mengonfirmasi bahwa sejumlah jasad belum berhasil dievakuasi karena ketebalan lumpur serta keterbatasan alat berat. Di Kecamatan Labuhanhaji Timur dan Meukek, titik longsor masih dinyatakan zona berbahaya, sehingga proses evakuasi dilakukan secara bertahap dengan risiko tinggi.
Baca juga: “Tarian Sungsang” Bupati Mirwan
Di tengah situasi krisis yang menuntut kehadiran penuh kepala daerah, masyarakat justru mendapati Bupati Aceh Selatan berada di luar negeri menjalankan ibadah umrah. Informasi keberangkatan ini dikonfirmasi oleh jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan sendiri. Wakil bupati serta Sekda ditunjuk sebagai pelaksana tugas sementara di daerah.
Namun secara moral, absennya bupati saat rakyat berjuang antara hidup dan mati tidak bisa dibenarkan. Ketika warga berjuang menyelamatkan anak-anak dari terjangan banjir, mencari keluarga yang hilang, hingga menunggu proses evakuasi jasad kerabat dari tumpukan lumpur, pemimpinnya justru memilih berada jauh dari pusat penderitaan masyarakat.
Ini bukan semata persoalan administratif tentang siapa yang menggantikan sementara jabatan kepala daerah. Ini soal kepemimpinan, empati, dan kehadiran negara di tengah bencana. Kepala daerah bukan sekadar penanda di struktur birokrasi, tetapi figur simbolik yang diharapkan berdiri paling depan memberi komando, semangat, dan kepastian kepada korban bencana.
Dalam banyak praktik tata kelola pemerintahan yang baik, keberadaan pemimpin di lokasi darurat memiliki efek psikologis dan koordinatif yang besar. Kehadiran tersebut mempercepat pengambilan keputusan lapangan, memperkuat koordinasi lintas lembaga, dan menjadi sumber moral bagi aparat maupun relawan.
Ketidakhadiran bupati memperlihatkan kegagalan moral dan politik. Ketika perhatian publik dan seluruh energi pemerintah daerah seharusnya terfokus pada penanganan darurat, pemimpinnya justru meninggalkan daerah dengan alasan ibadah pribadi. Padahal, tidak ada kewajiban normatif yang mengharuskan ibadah umrah dilakukan tepat saat daerah berada dalam kondisi bencana.
Secara hukum tata negara dan pemerintahan daerah, kepala daerah memiliki kewajiban menjalankan tugas pelayanan publik, termasuk memimpin penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dalam kerangka itu, bupati memegang peran strategis mulai dari penetapan status tanggap darurat, mobilisasi sumber daya, koordinasi dengan pemerintah provinsi-pusat, hingga memastikan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi.
Ketika kewajiban tersebut diabaikan, terbuka ruang pertanggungjawaban politik melalui DPRK. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Selatan memiliki kewenangan menggunakan fungsi pengawasan dan hak menyatakan pendapat jika menilai kepala daerah melakukan pelanggaran kewajiban atau pengabaian serius terhadap tugas.
Publik menilai situasi ini memenuhi unsur kelalaian moral yang berdampak langsung pada kepentingan rakyat. Ribuan warga kelaparan di tenda pengungsian, distribusi bantuan tersendat, proses pencarian korban berjalan lambat karena keterbatasan alat dan sumber daya—di saat yang sama, pemimpin daerah meninggalkan medan krisis.
Lebih jauh, tindakan Bupati Mirwan MS berpotensi menciptakan preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah di Aceh. Kepemimpinan yang absen di saat darurat mempertegas kecenderungan menjadikan jabatan hanya sebagai simbol administratif, bukan sebagai amanah yang menuntut keberpihakan pada penderitaan rakyat.
Kondisi Aceh Selatan saat ini bukan situasi biasa. Ini adalah keadaan darurat kemanusiaan. Para pengungsi membutuhkan lebih dari sekadar bantuan logistik; mereka membutuhkan kehadiran pemimpin yang memberi rasa aman, memastikan negara betul-betul hadir, dan menunjukkan bahwa rakyat tidak dibiarkan sendiri menghadapi musibah.
Jika Aceh Selatan ingin memulihkan kepercayaan publik, diperlukan komitmen kepemimpinan yang nyata: hadir di saat sulit, bukan menghilang di tengah krisis. Pemimpin yang layak dipercaya adalah mereka yang berdiri bersama rakyat dalam kondisi paling berat, bukan mereka yang meninggalkan medan juang ketika tanggung jawab sedang mencapai puncaknya.
Karena itu, tuntutan agar Bupati Aceh Selatan mengundurkan diri bukanlah sekadar reaksi emosional. Ini adalah seruan moral dan politik demi mengembalikan esensi kepemimpinan: bahwa jabatan adalah amanah untuk melayani, bukan untuk meninggalkan rakyat ketika mereka paling membutuhkan kehadiran pemimpinnya.[]
Penulis adalah akademisi dan pengamat kebijakan publik












