Impor 250 Ton Beras; Siapa yang Memainkan Celah Otonomi?

Gambar ilustrasi dibuat menggunakan AI

MASUKNYA 250 ton beras asal Thailand ke Sabang langsung membuat hubungan Aceh–Jakarta, yang selalu sensitif, jadi memanas. Ini bukan sekadar soal beras, tapi menyentuh ke substansi yang lebih dalam.

Cerita tentang impor beras menyentuh soal otoritas, kewenangan khusus, ruang tafsir regulasi, hingga ketegangan laten yang selalu muncul setiap kali pusat dan daerah berbeda pandangan. Seolah Aceh, dengan sejarah konfliknya yang panjang, selalu berada di jembatan rapuh di mana setiap kebijakan akan dipertanyakan: siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan?

BPKS Sabang menegaskan impor ini legal sesuai UU 37/2000 dan PP 83/2010. Kawasan Bebas Sabang memang memiliki keistimewaan: pemasukan barang konsumsi tidak tunduk pada tata niaga nasional. Izin sudah diterbitkan, dokumen lengkap, dan barang masuk melalui prosedur kawasan.

Baca juga: Disebut Ilegal, Kementan Segel 250 Ton Beras Impor di Sabang

Namun pemerintah pusat justru melihatnya sebagai pelanggaran serius. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menyebut tidak ada izin impor dari Jakarta, sementara Presiden Prabowo sendiri telah menyatakan bahwa Indonesia sedang surplus sehingga impor tidak diperlukan.

Di sinilah persoalannya. Legalitas kawasan bertabrakan dengan kebijakan nasional. Dan, dalam politik pangan, tabrakan seperti ini bisa berdampak panjang.

Bukan Izin, tapi Rasionalitas Kebijakan

Pertanyaan mendasarnya sederhana. Apakah Sabang sedemikian krisis beras hingga harus impor dari Thailand?

Baca juga: Gubernur Aceh Nilai Mentan Terlalu Reaktif Soal Impor Beras Sabang

Data pemerintah Aceh sendiri menunjukkan bahwa Aceh tidak sedang kekurangan produksi. Sentra-sentra beras di Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Barat, hingga Aceh Utara dalam kondisi panen dan relatif stabil.

Jika masalahnya hanya ongkos logistik dari daratan Aceh ke Sabang, maka problemnya bukan kekurangan, melainkan inefisiensi transportasi. Dan, inilah titik yang mengusik nalar publik. Mengapa solusi yang dipilih adalah impor, bukan memperbaiki jalur distribusi?

Biaya kapal? Bulog bisa masuk. Subsidi transportasi? Pemerintah Aceh punya anggaran cukup. Kerja sama BPKS dengan operator logistik? Sangat mungkin dilakukan.

Maka, wajar bila publik curiga. Apakah impor beras ini murni untuk kebutuhan masyarakat, atau ada pihak yang sedang menguji celah regulasi kawasan bebas demi mengambil keuntungan cepat?

Otonomi bukan untuk Memukul Petani

Otonomi khusus Aceh bukan cek kosong. Ia adalah kontrak politik pasca-konflik yang dirancang untuk memulihkan kepercayaan dan memperkuat ekonomi lokal.

Jika kewenangan ini digunakan untuk mengimpor beras—di saat petani Aceh sedang panen dan harga butuh stabilitas—maka otonomi justru dipakai untuk merugikan rakyat sendiri.

Ini bukan hanya soal pangan. Ini soal arah kebijakan otonomi. Apakah ia menjadi alat kemandirian, atau alat liberalisasi yang tak dikendalikan?

Dalam kasus ini, Aceh tampak seperti memprioritaskan kemudahan impor ketimbang perlindungan petani. Padahal tujuan dibentuknya kawasan bebas bukan untuk membuka pintu impor tanpa batas, melainkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Jangan Kedepankan Emosi Politik

Anehnya, polemik ini segera dibungkus narasi lama. “Jakarta tidak menghormati kekhususan Aceh.” Padahal masalah sebenarnya tidak sesederhana itu.

Kekhususan bukan berarti kebijakan daerah selalu benar. Kekhususan harus diiringi tanggung jawab, bukan sekadar kebanggaan formal.

Sabang tidak boleh dijadikan medan uji coba yang justru melemahkan petani Aceh. Otonomi bukan alasan untuk membiarkan celah tata niaga dimanfaatkan oleh importir yang kelak sulit diatur kembali.

Pusat perlu memahami bahwa Sabang memiliki peran khusus, dan regulasinya memang berbeda. Tetapi, daerah juga harus memahami bahwa pangan adalah isu strategis nasional yang tidak bisa dikelola tanpa koordinasi lintas kementerian.

Untuk itu, ada tiga langkah penting:

1. Hilangkan ego sektoral. Pusat tak boleh serta merta menyegel tanpa memverifikasi konteks kawasan.

2. Aceh harus mengakui bahwa logistik—bukan impor—adalah masalah utama Sabang.

3. Regulasi kawasan bebas perlu diperjelas agar tidak menjadi celah untuk melemahkan kebijakan pangan nasional.

Ketika otonomi dihadapkan pada keputusan populer yang merugikan petani, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan publik, tetapi juga makna dari MoU Helsinki itu sendiri.

MoU bukan lisensi untuk mengabaikan kepentingan rakyat. Ia adalah kerangka bagi Aceh untuk maju secara berdaulat, bukan untuk menjadi pasar bagi barang impor yang justru mengikis kekuatan produksi daerah.

Karena itu, kita berhak bertanya, apakah 250 ton beras itu kebutuhan nyata, atau hanya transaksi kepentingan yang mengatasnamakan otonomi? Sampai pertanyaan itu belum dijawab jujur, publik berhak untuk terus curiga. Dan, pemerintah Aceh berkewajiban untuk menjelaskannya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *