ACEH, yang dijuluki Serambi Mekkah, kembali diuji dengan persoalan klasik: antara simbol dan substansi keislaman.
Di satu sisi, provinsi ini memiliki legitimasi kuat sebagai daerah dengan penerapan syariat Islam. Satu-satunya di Indonesia. Namun di sisi lain, kehidupan sosialnya justru memperlihatkan kontradiksi yang menggelitik nurani. Semangat melarang konser begitu tinggi, tetapi antusias memakmurkan masjid tidak terlihat menggebu.
Beberapa hari lalu, publik Aceh diguncang dua peristiwa yang menggambarkan paradoks itu. Pertama, Satpol PP yang menertibkan pedagang menjelang azan Jumat justru dimaki. Kedua, muncul ancaman terhadap panitia konser Slank dan D’Massiv yang rencananya tampil pada peringatan Sumpah Pemuda.
Dua kejadian ini seolah menggambarkan wajah keagamaan yang terbelah. Panggung musik dianggap ancaman akidah, tetapi panggilan azan justru disikapi dengan acuh.
Baca juga: Slank dan D’Masiv Batal Manggung di Banda Aceh, Ormas Ancam Panitia
Padahal, Aceh dikenal sebagai wilayah dengan tingkat religiusitas tinggi. Data BPS mencatat, 98,6 persen penduduk Aceh beragama Islam, dengan ribuan masjid dan meunasah tersebar hingga pelosok gampong. Tapi angka-angka itu tampaknya belum berbanding lurus dengan kualitas pengamalan nilai-nilai Islam dalam keseharian. Banyak lelaki masih lalai terhadap kewajiban shalat Jumat, di sana sini perempuan tak lagi memperhatikan batas aurat, dan banyak pula pedagang yang enggan menutup usahanya saat azan berkumandang.
Di sinilah terlihat jelas bahwa syariat di Aceh kerap berhenti di kulit, belum menembus ke hati.
Fenomena “fanatisme buta” juga makin terasa. Ada kelompok yang cepat menuding haram hiburan atau konser musik, tetapi di saat yang sama abai pada penegakan disiplin ibadah yang menjadi pilar syariat itu sendiri. Padahal, Islam tidak menolak seni. Ia hanya menolak kemaksiatan.
Baca juga: Petugas Satpol PP Banda Aceh Dimaki Saat Himbau Tutup Usaha Jelang Shalat Jumat
Konser yang diatur dengan tertib dan menghormati waktu shalat langsung dicap “tidak islami”, sementara kemalasan menunaikan shalat dianggap hal biasa. Maka, di sinilah letak krisis moral kita.
Yang terjadi kini bukan lagi sekadar soal syariat, tetapi soal inkonsistensi sosial. Pemerintah daerah sibuk menertibkan simbol-simbol “Islam”, tetapi abai menanamkan kesadaran ubudiah (ibadah dan pengabdian). Ulama lantang menolak musik, tetapi jarang terdengar kampanye besar-besaran untuk menghidupkan kembali shalat berjamaah. Akibatnya, ruang publik di Aceh kerap diwarnai benturan antara ekspresi budaya dan tafsir keagamaan yang sempit.
Semua sepakat dengan penegakan syariat Islam. Bahkan, Aceh harus menjadi contoh bagaimana syariat hidup dengan bijak, mendidik, dan memanusiakan.
Syariat tidak bisa ditegakkan dengan ancaman dan pelarangan semata. Ia akan lebih bermakna bila dimulai dari keteladanan, dari disiplin ibadah, dari kesadaran batin masyarakat sendiri.
Menutup kedai menjelang azan bukan sekadar perintah qanun, tapi cermin rasa hormat kepada Sang Pencipta.
Jangan sampai Aceh terjebak dalam formalisme keagamaan. Jangan jadikan agama sebagai alat pembeda “siapa lebih suci”, tetapi sebagai pengikat untuk membangun masyarakat yang beradab.
Kalau musik dilarang karena dianggap melalaikan, maka shalat yang ditinggalkan tanpa rasa bersalah mestinya lebih layak ditertibkan. Kalau Satpol PP digerutu saat menegakkan aturan ibadah, jangan salahkan kalau kemudian generasi muda justru bingung membedakan antara iman dan kemunafikan sosial.
Aceh tidak kekurangan ulama, masjid, atau qanun. Yang kurang adalah keteladanan dan kesadaran. Sebab, tanpa keduanya, seruan “tegakkan syariat” hanya akan menjadi gema kosong; bergema nyaring di podium, tetapi sepi di masjid.
Syariat bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk diamalkan. Dan, jika Aceh sungguh ingin menjadi Serambi Mekkah, bukan dengan fanatik buta, melainkan dengan menegakkan shalat tepat waktu dan menjaga akhlak di ruang publik. Karena, agama tidak butuh sorakan. Ia butuh kesadaran.[]












