Ketika Fobia Pers “Merangsek” Istana Presiden

KEKUASAAN yang takut disorot. Kekuasaan yang lebih senang beroperasi di kegelapan, karena cahaya pers membuatnya gelagapan.

Staf kantor sekretariat presiden secara khusus datang ke kantor redaksi CNN Indonesia. Bukan untuk mengundang, tapi justru hendak mengambil kembali ID Card Pers yang pernah mereka berikan kepada seorang wartawan media tersebut. Tindakan ini bukanlah sekadar urusan administratif, melainkan sebuah tamparan terhadap kemerdekaan pers.

Kegaduhan pun tak terhindarkan. Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ikut bereaksi, menuntut agar kartu itu dikembalikan. Pesannya jelas: yang dilecehkan bukan cuma satu media, melainkan prinsip dasar jurnalisme.

Baca juga: Gara-gara Tanya MBG ke Prabowo, Istana Cabut ID Card Wartawan CNN Indonesia

Istana, dalam logika demokrasi, bukan ruang privat keluarga bangsawan. Ia lembaga publik yang mestinya transparan, tak beda dengan kantor camat yang harus melayani warganya.

Mengutip Rocky Gerung, istana bisa menjadi “pembuat hoax terbaik.” Di luar kepentingan konfirmasi yang sifatnya seremonial, berada di sudut istana seringkali membuat wartawan diposisikan ibarat “seekor kucing kurap”—hanya dipandang sebagai sosok yang menunggu belas kasihan dan sisa-sisa informasi dari orang-orang yang punya kekuasaan.

Ironisnya, fasilitas yang ditawarkan kartu pers istana pun tak seberapa. THR, akses acara, atau ruang dingin ber-AC. Tapi siapa peduli? Sebab yang kerap keluar dari ruangan itu bukan kabar baik, melainkan pengumuman pahit buat rakyat: kenaikan harga BBM, tarif pajak baru, atau utang negara yang membengkak.

Di titik ini, fungsi hakiki wartawan dilucuti. Padahal, tugas jurnalis bukan menjadi pengeras suara kekuasaan, melainkan watchdog—anjing penjaga demokrasi. Mereka bertugas mengawasi, menerjemahkan kebijakan agar dipahami publik, menyambungkan suara rakyat, dan memantik diskursus kritis.

Karena itu, pencabutan ID Card Pers bukan hanya mengurangi satu kursi di ruang konferensi. Ia adalah upaya sistematis memutus saluran vital antara kekuasaan dan rakyat.

Dan jangan lupa, tindakan menghalang-halangi kerja wartawan bukan cuma melukai etika, tetapi juga bisa berujung pidana. Undang-Undang Pers No 40/1999 dengan tegas mengatakan: siapa pun yang menghambat tugas jurnalis dapat dipenjara dua tahun dan didenda hingga Rp500 juta.

Mari menengok keluar. Di Amerika Serikat, ruang briefing Gedung Putih adalah panggung sakral. Presiden harus siap dihujani pertanyaan keras wartawan. Pencabutan akses secara sewenang-wenang di sana bisa dianggap pelanggaran konstitusi.

Di Inggris, Perdana Menteri rutin menghadapi “Prime Minister’s Questions,” di mana pertanyaan kritis adalah tontonan nasional. Di Skandinavia, transparansi bahkan hukum: dokumen pemerintah terbuka, dan wartawan tak perlu mengemis informasi.

Ini kontras sekali dengan kondisi di Istana Negara Kepresidenan di Jakarta; seorang jurnalis bisa tiba-tiba diperlakukan seperti maling, lalu diusir lewat pencabutan kartu.

Apa artinya semua ini? Kekuasaan yang takut disorot. Kekuasaan yang lebih senang beroperasi di kegelapan, karena cahaya pers membuatnya gelagapan. Padahal, hanya rezim yang rapuh yang alergi kritik.

Mengembalikan kartu pers itu bukan melulu soal akses. Ia simbol: komitmen kita pada demokrasi, pada hak publik untuk tahu, dan pada prinsip bahwa kekuasaan tak boleh berjalan tanpa kontrol. Jika istana ingin dihormati, hormatilah dulu pers.

Jangan perlakukan wartawan sebagai pengganggu, apalagi kucing kurap. Mereka adalah mata dan telinga rakyat. Dan mematikan mata rakyat adalah tanda rezim ini sedang buta arah dan fobia media pers! []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *