Ultimatum Mualem dan Taruhan Kewibawaan Gubernur

Ilustrasi excavator keluar dari hutan (foto: Ist)

TANPA tindakan nyata, ancaman Gubernur Aceh hanya akan jadi retorika, sementara kekayaan alamnya terus dijarah. Masyarakat jadi korban berkepanjangan.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengultimatum pemilik excavator agar dalam dua minggu sudah harus keluar dari hutan-hutan Aceh. Ultimatum ini mencerminkan kemarahan gubernur terhadap para pelaku perusakan lingkungan yang diduga melibatkan oknum aparat.

Laporan Panitia Khusus (Pansus) DPR Aceh menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara membabi buta telah menghancurkan ekosistem. Ribuan hektare hutan lindung dan kawasan konservasi berubah menjadi lahan gundul akibat tambang ilegal, penebangan liar, dan perkebunan sawit tanpa izin. Setelah alam rusak, masyarakat tidak memperoleh manfaat apa-apa, kecuali banjir, longsor, dan konflik satwa liar.

Baca juga: Uang Keamanan Excavator Rp 360 Miliar Per Tahun, Mualem Usir Semua Penambang Ilegal dari Hutan Aceh

Menurut Yayasan HAkA, Aceh kehilangan 8.906 hektare hutan sepanjang 2023, setara 1,5 kali luas Danau Lut Tawar. Dari jumlah itu, 4.502 hektare berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Tahun 2024, kerusakan bahkan naik jadi 10.610 hektare, dengan kontribusi terbesar dari Aceh Selatan (1.357 ha), Aceh Timur (1.096 ha), dan Subulussalam (1.040 ha).

“Delapan ribu hektare dalam setahun itu setara 1,5 luas Danau Lut Tawar. Itu baru satu tahun saja,” ujar Lukmanul Hakim, Manager GIS HAkA.

Baca juga: Kapolda Luncurkan Strategi Green Policing tidak Lama Usai DPRA Ungkap Dugaan Pungli di Tambang Ilegal

Sementara Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, mengingatkan, pemberian rekomendasi kepada perusahaan yang sudah melanggar hukum sama dengan melegitimasi perusakan lingkungan secara sistematis.

Kasus di Aceh mencerminkan persoalan nasional. Di Kalimantan Timur, larangan alat berat di tambang ilegal terbukti tidak efektif; lubang tambang justru memicu banjir Samarinda 2019. Di Sumatera Selatan, tambang ilegal Musi Banyuasin terus marak meski operasi penertiban berulang kali dilakukan.

Aceh sendiri pernah melakukan penyitaan excavator di tambang emas ilegal Nagan Raya dan Pidie (2022). Namun, lemahnya pengawasan membuat aktivitas ilegal kembali berulang.

Baca juga: Setoran Uang Keamanan Rp 27 Juta di Tambang Illegal Nagan Raya Mulai Diperiksa Kompolnas

Muncul pertanyaan besar: seberapa efektifkah ultimatum Mualem kali ini?

Jika tanpa penindakan nyata—penyitaan alat berat, proses hukum, hingga pengusutan pungli dan korupsi—maka ancaman gubernur hanya akan jadi retorika.

Muzakir Manaf bukan hanya seorang gubernur, tapi mantan Panglima GAM yang identik dengan ketegasan. Jika gagal mengeksekusi perintah, sindikat perusak lingkungan akan semakin mengakar, dan kewibawaannya akan tercoreng.

Aceh tidak butuh gertakan kosong. Yang dibutuhkan adalah tindakan konkret: audit izin, penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta keterlibatan publik dalam pengawasan. Tanpa itu, hutan Aceh akan terus hilang ribuan hektare tiap tahun, dan generasi mendatang hanya mewarisi bencana.

Tapi, juga harus diingat. Mualem tidak berada di sebuah hampa. Selain ada prinsip trias politica yang yang pada hakikatnya bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan menjaga kestabilan pemerintahan, juga ada kekuatan lain di sana.

Seorang gubernur juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan pusat kekuasaan. Masih ingat cerita tentang tujuan Mualem yang sangat mulia ingin membebaskan masyarakat Aceh dari penggunaan barcode saat mengisi BBM bersubsisi?

Bagaimana ujung ceritanya? Niat mulia yang bertujuan menghadirkan keadilan untuk masyarakat itu kandas di tangan seorang pejabat Pertamina.

Entahlah untuk tambang ilegal. Semoga tidak bernasib sama seperti cerita barcode Pertamina.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *