KabarAktual.id – Kapolda Aceh, Irjen Pol. Drs Marzuki Ali Basyah MM, meluncurkan strategi penanganan pertambangan ilegal bertajuk Green Policing. Langkah itu dimaksudkan sebagai respons terhadap maraknya aktivitas tambang liar yang merusak lingkungan dan menimbulkan berbagai dampak sosial di Aceh.
Menurut Kapolda, strategi ini merupakan langkah terpadu yang mengedepankan penegakan hukum, edukasi masyarakat, kolaborasi lintas sektor, serta pendekatan teknologi dan ekonomi untuk memberantas praktik tambang ilegal yang selama ini meresahkan.
Baca juga: Uang Keamanan Excavator Rp 360 Miliar Per Tahun, Mualem Usir Semua Penambang Ilegal dari Hutan Aceh
Pertambangan Liar, Ancaman Nyata bagi Lingkungan dan Sosial
Irjen Pol. Marzuki Ali Basyah menjelaskan bahwa aktivitas tambang tanpa izin telah menimbulkan kerusakan ekosistem hutan, pencemaran sungai, dan ancaman bencana alam seperti banjir dan longsor. Selain itu, tambang liar juga mengakibatkan kerugian ekonomi negara karena hilangnya potensi pendapatan daerah, serta memicu konflik sosial di masyarakat.
Baca juga: Setoran Uang Keamanan Rp 27 Juta di Tambang Illegal Nagan Raya Mulai Diperiksa Kompolnas
Kapolda mengemukakan, bahwa pihaknya mencatat banyak lokasi di Aceh yang mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang ilegal yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida. “Ini tidak hanya merusak alam, tapi juga mengancam kesehatan masyarakat,” ungkap Kapolda dalam pernyataan tertulis, Sabtu (27/9/2025).
Dijelaskan, pendekatan humanis berbasis lingkungan “Strategi Green Policing” terdiri dari lima pilar utama, yaitu:
1. Penegakan Hukum Secara Tegas
Polda Aceh menegaskan komitmennya untuk menindak pelaku pertambangan tanpa izin sesuai ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Pasal 158 UU Minerba.
2. Pencegahan dan Edukasi Masyarakat
Kegiatan sosialisasi dan edukasi akan digencarkan di desa-desa yang rawan aktivitas tambang liar. Kapolda menekankan pentingnya melibatkan tokoh adat, agama, dan pemuda sebagai agen perubahan di tingkat lokal.
3. Kolaborasi Antar-Instansi
Penanganan pertambangan ilegal dilakukan secara sinergis dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK), serta Pemerintah Kabupaten/Kota
4. Pendekatan Ekonomi Alternatif
Dalam rangka memberikan solusi jangka panjang, Polda Aceh menggandeng instansi terkait untuk memberdayakan mantan penambang liar melalui program-program ekonomi produktif dan ramah lingkungan.
5. Penggunaan Teknologi dan Sistem Pengawasan
Untuk memetakan dan memantau aktivitas tambang ilegal, Polda Aceh akan menggunakan drone citra satelit dan sistem informasi geospasial Ini memungkinkan pemantauan yang lebih cepat, akurat, dan berbasis data.
Kapolda Aceh juga menyampaikan harapannya agar masyarakat dapat berperan aktif dalam upaya menjaga lingkungan dengan menolak terlibat dalam praktik tambang ilegal dan melaporkan aktivitas mencurigakan kepada pihak berwenang.
Dikatakan, Polda tidak bisa bekerja sendiri. Dukungan masyarakat adalah kunci keberhasilan strategi Green Policing ini. Karena itu, dia berharap agar masyarakat tidak perlu takut untuk melapor. “Kami akan lindungi siapa pun yang membantu menyelamatkan lingkungan Aceh,” tegas Irjen Pol. Marzuki.
Strategi Green Policing itu, kata dia, menandai komitmen jangka panjang Polda Aceh dalam menciptakan lingkungan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera. “Upaya ini bukan hanya soal penindakan, tetapi juga soal edukasi, pemberdayaan, dan kolaborasi lintas sektor demi masa depan Aceh yang lebih hijau,” demikian Kapolda.
Uang keamanan Rp 360 miliar
Melansir KabarAktual.id, Kamis (25/9/2025), Sekretaris Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batubara serta Minyak dan Gas DPR Aceh, Nurdiansyah Alasta, mengemukakan hasil investigasi bahwa mereka menemukan adanya kehancuran lingkungan disebabkan praktik tambang ilegal. Aktivitas itu, kata dia, melibatkan oknum aparat penegak hukum, cukong (pemodal), serta pengusaha minyak ilegal.
Menurut Nurdiansyah, ada 450 titik tambang ilegal tersebar di berbagai kabupaten, antara lain, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Pidie. “Kondisi alam dan lingkungan Aceh hancur akibat penambangan yang membabi buta,” kata Nurdiansyah dalam rapat paripurna, Kamis (25/9/2025).
Dari temuan Pansus, disebutkan, terdapat sekitar 1.000 unit excavator beroperasi secara aktif di lokasi-lokasi tersebut. Setiap excavator, kata dia, diwajibkan menyetor uang keamanan sebesar Rp 30 juta per bulan kepada oknum aparat di wilayah kerjanya.
Nurdiansyah mengatakan, jumlah setoran ilegal itu mencapai Rp 360 miliar per tahun. Praktik ini, kata dia, sudah berlangsung lama tanpa ada upaya pemberantasan serius.
Atas temuan tersebut, Pansus DPRA mendesak Gubernur Aceh segera menutup seluruh tambang ilegal. Pansus juga merekomendasikan agar pengelolaan tambang diberikan secara legal kepada koperasi-koperasi desa.
Setelah mendengarkan laporan Pansus, Gubernur Muzakir Manaf atau Mualem langsung mengultimatum penambang emas ilegal agar mengeluarkan alat beratnya dari hutan Aceh dalam waktu dua minggu dari sekarang. “Khusus tambang emas ilegal, saya beri amaran waktu, mulai hari ini, seluruh alat beratnya harus segera dikeluarkan dari hutan Aceh,” ujar gubernur.
Mantan Panglima GAM itu mengancam, jika tidak dilaksanakan maka setelah 2 minggu pihaknya akan mengambil langkah tegas. Selain itu ia juga akan mengeluarkan instruksi gubernur (Ingub) soal penataan tambang. “Selain merusak lingkungan, tambang ilegal juga tidak memberi manfaat bagi pendapatan daerah,” katanya.[]