SERUAN Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh pada apel Senin, 25 Agustus 2025, agar Aparatur Sipil Negara (ASN) mempercepat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2025, secara normatif memang wajar. Bukan sekadar instruksi teknis birokrasi, seruan itu juga sebuah pertaruhan besar; antara kepentingan politik, kewibawaan pemerintah, dan nasib rakyat Aceh.
Selama ini, APBA lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin. Data menunjukkan 70–80 persen anggaran habis untuk membiayai operasional birokrasi: gaji pegawai, perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa, serta honorarium tim-tim bentukan pemerintah. Artinya, ruang fiskal untuk belanja publik yang pro-rakyat sangat terbatas.
Dalam konteks APBA 2025 yang mencapai Rp 11,07 triliun, target realisasi 97,6 persen menjelang kuartal ketiga berpotensi memicu pola “ugal-ugalan” belanja oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Alih-alih tepat sasaran, percepatan serapan anggaran seringkali berujung pada pemborosan.
Baca juga: Ketua DPRA Minta tak Ada Lagi Manuver yang Menghambat Realisasi APBA 2025
Pertaruhan Politik dan Janji Publik
Lebih dari sekadar target teknis, realisasi APBA 2025 juga merupakan pertaruhan politik. Gubernur Aceh, sebagai kepala daerah sekaligus figur politik, dituntut untuk menepati janji-janji kampanyenya pada Pilkada 2024. Keberhasilan atau kegagalan realisasi APBA akan mencerminkan kompetensi dan kredibilitasnya di mata publik.
Persoalannya, apakah percepatan serapan anggaran benar-benar diarahkan untuk kepentingan rakyat? Atau sekadar memenuhi ambisi elite politik dan birokrasi yang ingin mengejar target angka serapan tanpa memperhatikan dampak riil?
APBA dan Ilusi Kemakmuran
APBA pada dasarnya adalah instrumen fiskal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam teori ekonomi publik, belanja pemerintah seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat daya beli masyarakat, serta menggerakkan sektor riil—khususnya UMKM, sektor informal, dan pertanian sebagai basis ekonomi Aceh.
Baca juga: Sekda Minta BPKA Akomodir SKPA Realisasikan Anggaran
Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya. Anggaran triliunan rupiah berubah menjadi money illusion: tampak besar di atas kertas, tetapi kecil dampaknya di lapangan. Tidak heran jika berbagai studi (BPS Aceh, 2024; Bank Indonesia, 2025) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh masih stagnan di kisaran 4–5 persen, dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.
Otsus dan Ketergantungan
Ironisnya, sejak 2008 Aceh telah menerima lebih dari Rp100 triliun dana otonomi khusus (Otsus). Namun, manfaatnya minim dirasakan rakyat. Sebagian besar dana mengalir ke elite eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, dengan serapan yang tidak efektif.
Kini, muncul lagi wacana perpanjangan Otsus melalui skema tambahan 2,5 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU). Jika pola lama berulang, tambahan dana tersebut hanya akan memperpanjang “budaya rente” tanpa memberikan perubahan signifikan pada kehidupan masyarakat.
Penutup: Pertaruhan untuk Siapa?
Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya adalah: pertaruhan realisasi APBA 2025 ini untuk siapa? Apakah untuk menguji kompetensi ASN dan SKPA semata? Untuk menjaga kewibawaan gubernur? Atau benar-benar untuk memperbaiki taraf hidup rakyat Aceh yang saat ini masih “tidak baik-baik saja”?
Tanpa orientasi yang jelas pada kepentingan publik, APBA hanya akan menjadi ajang pertaruhan elite. Rakyat kembali menjadi penonton, sementara janji kesejahteraan tinggal ilusi.[]
Dr. Taufik Abd. Rahim; adalah pengamat kebijakan publik dan akademisi Aceh